AM_MC-06


Serial ARYA MANGGADA

Episode I: MENJENGUK CAKRAWALA

JILID 6

kembali | lanjut AM_MR-01

AMMC-06

NAMUN dengan demikian, Ki Ajar mengambil keputusan bersama Senapati prajurit Pajang bahwa padepokan induk itu akan dimusnahkan seluruhnya.

Karena itu, mereka pun segera keluar dari bangunan itu, dan seorang prajurit telah menyulutnya dengan obor.

Sejenak kemudian, setelah tengkorak-tengkorak itu diselamatkan untuk dikuburkan, apipun telah berkobar bagaikan menjilat bintang-bintang di langit. Bukan hanya sebuah bangunan, tetapi beberapa buah bangunan telah menjadi onggokan api yang semakin lama semakin besar. Asap pun membubung tinggi, kemudian pecah ditiup angin.

Mereka berharap, bahwa lambang dari kepercayaan sesat itu telah dimusnahkan, meskipun dengan kecewa mereka harus menghadapi kenyataan, bahwa Panembahan Lebdagati sendiri ternyata luput dari tangan mereka. Sementara itu, mereka menyadari bahwa Panembahan Lebdgati adalah orang yang memiliki ilmu tinggi, yang akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan diri sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Bahkan jika perlu, mengorbankan bukan saja kepentingan orang lain, tetapi orang lain itu sendiri.

Namun dalam pada itu, dari kejauhan, seorang dengan geram melihat asap yang membubung tinggi itu. Giginya gemeretak. Sementara, dari matanya memancar kemarahan yang tiada taranya. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi”

Sebenarnyalah bahwa terlepasnya Panembahan Lebda-gati adalah pertanda bahwa ilmu yang sesat itu belum mati. Padepokannya dapat dihancurkan, bahkan kemudian menjadi abu. Tetapi orang yang menumbuhkan kepercayaan sesat itu masih tetap hidup. Bahkan hatinya bagaikan membara oleh dendam yang tiada taranya. Apa yang telah dirintisnya, ternyata telah dihancurkan menjadi abu.

Panembahan Lebdagati memang tidak ingin kembali ke padepokannya yang telah dihancurkan. Tetapi itu bukan berarti ia tidak akan bangkit lagi dengan sebuah padepokan baru untuk mengembangkan aliran sesatnya. Bahkan seperti, yang dikatakannya, kegagalannya menikam korban di saat terang bulan yang baru saja lewat, maka ia harus mengulanginya dengan mengorbankan gadis-gadis lebih banyak lagi.

Ki Ajar Pangukan berkata kepada Senapati dari Pajang, “Pajang tidak boleh berhenti memburu orang itu. Jika ia sempat bangkit lagi, maka ia akan dapat menimbulkan malapetaka yang lebih besar lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Orang itu berilmu sangat tinggi. Meskipun sekelompok prajurit terpilih, tidak akan dapat menangkapnya. Harus ada orang pilihan yang menyertai para prajurit itu”

“Jika salah seorang dari dua Panglima Wira Tamtama Pajang turun langsung menanganinya, Panembahan Lebdagati tentu akan dapat diselesaikan. Apakah Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi.” berkata Ki Ajar.

“Apabila keadaan memaksa, keduanya tentu tidak akan berkeberatan” berkata Senapati itu.

“Panembahan Lebdagati tentu tidak akan dapat lepas dari tangan mereka, jika mereka berhasil menemukannya, Ki Gede Pemanahan maupun Ki Penjawi, adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari duanya di muka bumi ini.” berkata Ki Ajar.

“Apalagi jika Ki Juru Martani, saudara tua seperguruan mereka, ikut pula mencampuri persoalan ini.” sahut orang bongkokitu. Lalu katanya, “Persoalan ini adalah persoalan yang sangat pelik”

Senapati itu mengangguk. Katanya, “Aku akan melaporkannya kepada para Panglima Wira Tamtama. Aku kira mereka akan mengambil kebijaksanaan yang sebaik-baiknya atas persoalan ini”

Demikianlah, orang-orang yang tengah menghancurkan padepokan itu, ternyata tidak segera meninggalkannya. Mereka masih berada di tempat keesokan harinya mereka mempergunakan kesempatan itu untuk berhubungan dengan orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan, yang untuk beberapa lama, berada di bawah pengaruh Panembahan Lebdagati. Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang jalur kekuasaan Pajang, karena mereka mengira bahwa pemimpin mereka yang tertinggi di dunia ini adalah Panembahan Lebdagati.

Dengan demikian, Senapati itu berkesimpulan bahwa daerah itu harus dibuka.

“Lingkungan ini tidak boleh terus-menerus tertutup seperti ini, sehingga orang yang tinggal di belakang hutan Jatimalang mengira, dunia ini hanya seluas padukuhan-padukuhan yang ada di lereng gunung ini.” berkata Senapati itu.

“Jika Pajang dapat membuka jalan menembus hutan Jatimalang, daerah ini tentu akan menjadi daerah yang terbuka. Daerah ini akan dapat berhubungan dengan daerah-daerah lain, sebagaimana seharusnya.” berkata Ki Ajar.

Senapati Pajang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya kepada pimpinan pemerintahan di Pajang. Kemungkinan seperti itu tentu selalu terbuka, meskipun diperlukan waktu dan tenaga yang sangat besar. Tetapi menyangkut satu lingkungan yang cukup luas di lereng gunung ini”

Demikianlah. Senapati Pajang itu melakukan pengamatan dalam waktu singkat. Senopati itu sempat pula berhubungan dengan orang-orang yang berpengaruh di padukuhan-padukuhan untuk memberikan penjelasan.

Ternyata bahwa pengenalan orang-orang di daerah itu atas diri mereka sendiri, dalam hubungannya dengan mereka di seberang hutan Jatimalang, adalah sangat sedikit.

Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang telah berhasil mengambil anaknya, meskipun harus bertaruh nyawa, telah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantunya.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar menjawab, “Kita mempunyai kepentingan yang sama. Sebagaimana para prajurit Pajang yang berhasil aku hubungi sebelumnya, sehingga kita dapat melakukan tugas ini bersama-sama.”

“Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa berhutang budi kepada semua pihak” berkata Ki Wiradadi, “ternyata bahwa anakku telah dapat diselamatkan”

“Tetapi hati-hatilah Ki Wiradadi” berkata orang bongkok itu, “Panembahan Lebdagati masih belum tertangkap. Untuk beberapa lama, Panembahan itu tentu tidak akan melakukan kegiatan apapun juga. Tetapi pada suatu saat, ia akan mengejutkan banyak orang. Karena itu, segala pihak harus berhati-hati. Ki Wiradadi harus menghimpun semua orang yang mungkin dapat menjaga ketertiban padukuhan, karena tidak ada orang secara pribadi akan mampu menghadapi Panembahan Lebdagati. Namun bagaimanapun juga, untuk melawan orang sepadukuhan, Panembahan Labdagati tentu juga harus berpikir beberapa kali”

“Aku akan menghubungi Ki Bekel dan Ki Demang” berkata Ki Wiradadi.

Namun ketika Ki Wiradadi mohon diri, Ki Ajar berkata, “Jangan berjalan seorang diri”

Arya Manggada berkata, “Kami berdua akan menyertainya sampai ke padukuhannya. Kami berangkat bersama-sama. Maka kami pun akan kembali bersama-sama”

Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Tetapi sebaiknya, kalian tidak saja berpegang kepada gelora yang menyala di dalam dada kalian, tetapi sebaiknya kalian harus mulai mengetrapkan perhitungan-perhitungan di setiap langkah kalian”

Manggada dan Laksana pun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah, Manggada berkata, “Kami akan selalu mengingat pesan Ki Ajar”

“Bagus anak-anak muda” berkata Ki Ajar. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Tetapi kami masih ingin mempersilahkan Ki Wiradadi dengan anak gadisnya, serta anak-anak muda berdua, untuk singgah di rumahku. Beberapa orang prajurit Pajang masih ada di sana. Sebaiknya kalian berangkat dari rumahku itu.”

Ki Wiradadi, anak gadisnya serta kedua orang anak muda itu, tidak dapat menolak. Demikian pula Senapati prajurit Pajang. Mereka semuanya telah dipersilahkan singgah di rumah Ki Ajar, yang tidak cukup besar untuk menampung semua orang. Apalagi semua prajurit Pajang yang datang ke seberang hutan Jatimalang itu.

Tetapi ternyata, orang bongkok itu sempat menyuguhi mereka dengan makan dan minuman, meskipun Senapati itu berkata, bahwa mereka telah membawa bekal sendiri-sendiri.

“Bukankah sudah ada di antara orang-orang kami yang bertugas untuk menyediakan makan dan minuman kami dalam keadaan yang bagaimanapun juga?” berkata Senapati itu.

Tetapi orang bongkokitu berkata sambil tersenyum, “Aku akan bekerja bersama dengan mereka.”

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Ajar telah sempat membawa Manggada dan Laksana ke tempat yang tersembunyi. Keduanya memang menjadi berdebar-debar, karena Ki Ajar tidak mengatakan apakah maksudnya membawa keduanya menyendiri.

Ketika mereka bertiga telah berada di balik sebuah gumuk kecil, Ki Ajar mempersilahkan kedua orang anak muda itu untuk duduk di atas batu hitam yang seakan-akan memang sudah disediakan.

“Anak-anak muda” berkata Ki Ajar, “kalian memang sangat menarik perhatianku. Dalam usia kalian yang masih sangat muda, kalian telah memiliki bekal yang tinggi”

Kedua orang anak muda itu masih saja termangu-mangu.

Sementara itu, Ki Ajar berkata selanjutnya, “Karena itu, anak-anak muda, aku ingin ikut menitipkan bekal bagi kalian berdua. Tetapi waktu yang pendek sekali, tidak akan mungkin dapat aku pergunakan untuk meningkatkan ilmu kalian dengan kemampuan yang berarti. Karena itu, aku akan memperguna-kan cara lain untuk membantu kalian.”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Keduanya tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi menilik kata-kata Ki Ajar, serta sorot matanya yang terang, naka Ki Ajar bermaksud baik bagi kepentingan mereka berdua. Karena itu, keduanya berharap bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu, setidak-tidaknya petunjuk bagi kepentingan ilmu mereka.

Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Pangukan menuntun keduanya melakukan gerak-gerak langkah tertentu, selagi mereka masih duduk di atas batu hitam. Kemudian, pada gerak-gerak tertentu, mereka harus menarik nafas dalam-dalam,   memusatkan nalar budi,   sehingga pernafasan mereka berjalan sesuai dengan kehendak.

Demikianlah. Kedua anak muda itu telah melakukan beberapa kali dengan kesungguhan hati. Pemusatan perhatian sepenuhnya dengan lambaran kemampuan yang ada di dalam diri mereka.

Ketika hal itu sudah dilakukan beberapa kali, Ki Ajar mengajari anak-anak muda itu melakukannya dengan gerakan yang lebih sederhana, namun mencapai daya kemampuan yang sama. Demikian dilakukan beberapa kali, sehingga akhirnya, keduanya dapat mengatur pernafasan mereka hanya dengan satu gerak yang paling sederhana.

“Luar biasa” berkata Ki Ajar kemudian, “kalian memang memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Agaknya kalian pernah menempuh masa-masa latihan yang sangat berat sebelumnya, sehingga kalian dapat melakukan satu cara pernafasan dengan latihan-latihan yang terhitung singkat.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Mereka memang merasakan semacam udara baru yang terhembus di dalam tubuh mereka, membawa kesegaran tersendiri. Darah mereka pun menembus urat-urat yang paling lembut di dalam tubuh mereka.

Ki Ajar yang nampak tersenyum-senyum itu berkata, “Lakukanlah dalam latihan-latihan olah kanuragan. Tetapi aku masih belum berani membiarkan kalian berdua berlatih bersama. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berlatih bersamaku.”

Manggada dan Laksana pun kemudian diminta bersiap. Demikian pula Ki Ajar Pangukan. Dengan isyarat, mereka segera mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan. Kedua anak muda itu harus menghadapi Ki Ajar dalam latihan olah kanuragan.

Kedua anak muda itu berloncatan, ketika Ki Ajar mulai menyerang. Dengan lantang Ki Ajar berkata, “Lakukanlah dengan sungguh-sungguh, agar kalian dapat menilai arti pengaturan nafas bagi kesiagaan tenaga cadangan di dalam dirimu”

Kedua anak muda itu mengerahkan kemampuannya, karena mereka menyadari tataran kemampuan Ki Ajar. Apalagi Ki Ajar memang mendorong anak-anak muda itu mengerahkan kemampuan mereka dengan cara yang paling singkat. Sesuai dengan laku yang telah di ajarkan oleh Ki Ajar dengan landasan pengaturan pernafasan.

Ternyata kedua anak muda itu dapat merasakan dorongan kekuatan yang terasa lebih besar. Bukan karena. mereka dengan tiba-tiba mendapat kekuatan baru, tapi Ki Ajar telah mengajarkan kepada mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan sebaik-baiknya, sehingga kekuatan dari dalam seakan-akan menjadi lebih besar, mendorong kekuatan kewadagan mereka.

Dengan demikian, kedua anak muda itu mampu bergerak lebih cepat. Loncatan mereka lebih panjang. Sedangkan ayunan kekuatan mereka, menjadi lebih deras. Seakan-akan keduanya telah berlatih untuk waktu yang panjang, sehingga ilmu mereka meningkat.

Tetapi keduanya menyadari, bahwa bukan landasan ilmu merekalah yang meningkat, tapi kemampuan mereka untuk mempergunakan tenaga cadangan yang telah menjadi semakin baik, karena tuntunan Ki Ajar dalam menyempurna-kan pernafasan mereka.

Beberapa saat, kedua anak muda itu masih bertempur melawan Ki Ajar. Setiap kali, Ki Ajar masih berteriak memberikan aba-aba kepada kedua anak muda itu, sehingga . petunjuk apa yang paling baik harus mereka lakukan.

Ternyata Ki Ajar pun semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Dalam benturan-benturan yang terjadi, Ki Ajar telah meningkatkan kekuatannya. Dengan demikian, kedua anak muda itu harus mengerahkan tenaga cadangan, sejauh dapat mereka lakukan.

Ki Ajar akhirnya melihat hasil yang sangat baik, dari waktu yang sangat singkat itu. Ilmu kedua anak muda itu memang tidak meningkat, tapi mereka dapat memanfaatkan kekuatan di dalam dirinya dengan lebih baik.

Beberapa saat kemudian, Ki Ajar mengambil jarak dan memberikan isyarat bahwa latihan telah berakhir.

Manggada dan Laksana pun kemudian telah mengekang kekuatan di dalam dirinya. Kemudian perlahan-lahan mengendapkannya kembali, sehingga akhirnya keduanya telah menyimpan tenaga cadangannya sepenuhnya.

Ki Ajar berdiri di atas sebuah onggokan batu padas sambil tersenyum. Namun dalam sekilas, Ki Ajar melihat perbedaan di antara kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya Manggada mampu menyerap lebih banyak petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Ki Ajar. Tetapi perbedaan itu agaknya terlalu kecil, sehingga dapat diabaikan.

Ketika kedua anak muda itu telah berdiri tegak, sambil memandang Ki Ajar yang berdiri diatas onggokan batu padas itu, Ki Ajar pun berkata, “Bagus sekali anak-anak muda. Aku tidak mengira bahwa dalam waktu yang pendek, kalian mampu menyerap petunjuk-petunjukku sedemikian dalamnya, sehingga tenaga cadangan kalian, yang dapat kalian pergunakan, bukan saja meningkat tapi berlipat. Dalam tataran ilmu yang sama, maka kalian telah menjadi lebih berarti bagi dunia kanuragan.“

Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada berat, Manggada berkata, “Kami mengucapkan beribu terima kasih Ki Ajar. Kami juga merasakan bahwa arus kehendak kami lebih cepat terungkap dalam gerak. Unsur naluriah telah terpacu pula karenanya. Darah kami rasa-rasanya mengalir semakin lancar, sesuai dengan tingkat gerak tubuh kami. Kekuatan tenaga cadangan kami, seakan-akan memang meningkat dengan cepat. Bahkan seperti yang Ki Ajar katakan, justru berlipat.”

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Tidak semua orang dapat berbuat sebagaimana kalian lakukan. Pintu kemampuan kalian telah terbuka sebelumnya, dengan latihan-latihan yang berat, sehingga tidak akan terlalu sulit untuk menerima unsur-unsur baru, dan bahkan dorongan kekuatan dari dalam tubuh kalian. Karena itu, kalian jadi semakin dewasa dalam olah kanuragan.” Ki Ajar berhenti sejenak, lalu katanya, “Dengan landasan penyempurnaan pernafasan kalian, maka kalian akan mampu mengembangkan ilmu kalian semakin tinggi. Aku yakin, ketajaman penalaran kalian akan dapat membawa kalian ke jenjang yang lebih tinggi.“

“Terima kasih Ki Ajar” sahut Laksana sambil membungkuk hormat” mudah-mudahan semuanya itu menjadi bekal bagi kami untuk menyongsong masa depan.

“Bagus” jawab Ki Ajar, “apa yang kalian saksikan di sini, adalah satu peristiwa yang barangkali tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Perjalanan kalian kali ini, dari padepokan kalian, adalah perjalanan yang sangat berarti, meski taruhannya sangat berat. Yaitu nyawa kalian. Namun dengan demikian, kalian telah berhasil menguak cakrawala dari satu dunia yang ternyata tidak sebersih keinginan kita. Kenyataan ini harus kita terima dan kita hadapi sebagai satu tantangan bagi kehidupan orang-orang yang ingin menegakkan tatanan kehidupan yang lurus.“

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Ajarpun berkata, “Sudahlah. Marilah kita kembali. Ki Wiradadi dan para prajurit Pajang tentu sudah menunggu. Agaknya mereka tentu sudah selesai makan.“

Ketiga orang itu pun kemudian meninggalkan tempat yang terlindung oleh sebuah gubuk kecil, dan kembali ke rumah Ki Ajar. Ternyata seperti yang diduga oleh Ki Ajar, jika ketika mereka meninggalkan tempat itu, orang bongkok itu mulai menyiapkan makan bersama prajurit Pajang yang bertugas, maka para prajurit dan bahkan para perwiranya pun sudah selesai makan.

Melihat Ki Ajar dan kedua anak muda itu, Senapati Pajang bertanya, “Darimana saja Ki Ajar selama ini. Kami telah mendahului makan hidangan yang diberikan oleh Ki Pandi. Ternyata Ki Pandi adalah juru masak yang paling baik. Buah kates yang masih mentah itu, dapat dibuatnya menjadi sayur yang nikmat.“

“Ah” desis Ki Ajar, “agaknya hanya itu yang dapat disuguhkan oleh si Bongkok. Seandainya kalian tidak tergesa-gesa, kami dapat mengeringkan sebuah belumbang dan menyiapkan gerameh yang besar-besar bagi kalian.“

“Berapa puluh gerameh yang Ki Ajar butuhkan untuk menyuguhi kami?” bertanya Senapati itu.

Ki Ajar tertawa. Namun kemudian katanya, “Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian menghancurkan kekuatan hitam di seberang hutan yang masih pepat itu, sehingga seakan-akan daerah ini merupakan daerah yang terpisah dari kehidupan sewajarnya.“

“Bukan Ki Ajar yang harus mengucapkan terima kasih. Kami yang mengemban tugas dari Kangjeng Sultan Pajang lah yang mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan Ki Pandi. Tanpa kalian berdua, maka aku kira kita masih belum berhasil dengan tugas yang berat ini.“

“Ternyata kita mempunyai kepentingan yang sama.” berkata Ki Ajar.

Demikianlah, Pasukan Pajang kemudian bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Ki Wiradadi dan anak gadisnya, pernyata akan berada di antara para prajurit itu, agar perjalanan mereka tidak terganggu. Demikian pula Manggada dan Laksana akan meninggalkan tempat itu pula.

“Makanlah dahulu. Semuanya sudah makan” berkata Senapati itu.

Ternyata Manggada dan Laksana sempat makan lebih dahulu, sebelum mereka meninggalkan lingkungan terpencil yang dihuni oleh Ki Ajar Pangukan dan orang bongkok yang bernama Ki Pandi itu. Orang-orang yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit Pajang telah meninggalkan tempat yang terpencil itu. Beberapa orang yang terluka, juga dibawa bersama. Bahkan ada yang terpaksa dibawa dengan usungan yang disiapkan dengan tergesa-gesa, namun cukup memadai.

Ki Wiradadi dan anak gadisnya, juga menyertai iring-iringan itu, karena Ki Wiradadi tidak mau anaknya dirampas kembali oleh Panembahan Lebdagati yang ternyata berhasil lolos dari tangan Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi.

Manggada dan Laksana pun ikut pula dalam iring-iringan itu. Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, yang nampaknya menaruh perhatian besar pada anak-anak muda itu, sempat bertanya kemana anak-anak muda itu akan pergi.

“Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi” berkata Ki Pandi.

“Senang sekali bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi satu saat nanti” berkata Manggada.

“Bagaimana jika suatu saat kami datang ke tempat ini lagi?” bertanya Laksana.

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Sebaiknya kalian tidak usah datang kemari. Kami tidak selalu ada di rumah ini. Bahkan kadang-kadang kami pergi untuk waktu yang cukup lama. Sepuluh hari atau bahkan lebih.“

“Jadi, bagaimana jika kami ingin bertemu lagi dengan Ki Ajar dan Ki Pandi?” bertanya Laksana.

“Kamilah yang akan menemui kalian” jawab Ki Ajar.

“Kapan?” bertanya Laksana.

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Sudah tentu kami belum dapat menyebut waktu yang paling baik untuk menemui kalian.“

Manggada dan Laksana berada di paling belakang, di belakang Ki Wiradadi yang berjalan bersama anak perempuannya.

Perjalanan keluar dari tempat itu, memang pekerjaan yang sulit. Ki Ajar dan Ki Pandi sempat mengantar mereka sampai keluar dari batas liku-liku yang rumit. Kemudian, keduanya terhenti di atas batu-batu padas.

“Berhati-hatilah anak-anak muda” desis Ki Ajar.

“Terima kasih Ki Ajar” sahut keduanya hampir berbareng.

“Aku yakin kita akan bertemu lagi” berkata Ki Pandi.

“Kami pun sangat mengharapkannya” desis Manggada. Sementara, Laksana berkata, “Semakin cepat, tentu semakin menggembirakan hati kami.“

Ki Pandi tersenyum. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Sementara, iring-iringan prajurit Pajang bersama Ki Wiradadi dan anak gadisnya sudah berjalan menjauh.

Sebelum kedua orang anak muda itu meninggalkan ‘Ki Ajar dan Ki Pandi, mereka sempat melihat dua ekor harimau yang berjalan melingkar agak jauh dari mereka. Keduanya segera mengenali, bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau peliharaan Ki Pandi.

Perjalanan keluar dari hutan Jatimalang, ternyata tidak sesulit perjalanan memasukinya. Mereka juga tidak dibebani oleh ketegangan yang mencengkam, sebagaimana saat-saat mereka dengan meraba-raba kemungkinan yang bakal mereka hadapi di saat mereka menyeberangi hutan itu.

Tetapi kedua orang anak muda itu tidak berhasil menemukan kembali kerangka seseorang yang pernah dilihat ketika mereka memasuki hutan itu.

Demikianlah. Beberapa saat kemudian, mereka telah melintasi hutan itu. Meskipun perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup berat, tetapi mereka telah menempuhnya dengan hati yang tidak tertekan.

Ki Wiradadi memang tidak dapat berjalan secepat para prajurit. Namun ternyata pemimpin prajurit Pajang itu dapat mengerti kesulitan Ki Wiradadi yang harus menuntun anak gadisnya. Karena itu, sang Senapati memerintahkan pasukannya untuk memperlambat perjalanan mereka.

Dengan demikian, perjalanan kembali menjadi lebih lama, tapi tidak ada hambatan jiwani sama sekali.

Demikianlah, Manggada dan Laksana telah menyelesaikan satu perjalanan yang mendebarkan. Mereka sempat melihat satu segi kehidupan yang belum pernah dibayangkannya sebelumnya, bahwa ada orang yang sampai hati mengorban-kan orang lain dengan cara yang sangat keji untuk kepentingan kepuasan diri.

Namun pengalaman yang pernah dijalaninya itu, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi keduanya. Keduanya sempat memperbandingkan ilmu yang telah mereka pelajari dengan gejolak dunia olah kanuragan. Jika sebelumnya mereka merasa telah memiliki bekal yang cukup, sehingga mereka tidak pernah merasa gentar menghadapi apapun juga, mereka kemudian harus mengakui bahwa mereka adalah bagian yang sangat kecil dari kerasnya dunia olah kanuragan.

Bahkan mereka harus mengakui, bahwa apa yang telah mereka lakukan tidak ubahnya seperti seorang bayi yang memegang bara api. Hal itu dilakukannya bukan karena bayi seorang yang sangat berani, tetapi dilakukan karena tidak tahu bahwa api itu panas dan berbahaya bagi kulitnya.

Kedua anak muda itu memang menjadi ngeri jika mengingat kembali apa yang telah terjadi. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa mereka akan bertemu dengan kekuatan ilmu, sebagaimana dimiliki Panembahan Lebdagati dan saudara seperguruannya. Bahkan beberapa orang pengikutnya pun, memiliki ilmu yang tinggi pula.

Seandainya di lereng Gunung itu tidak ada Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi, serta prajurit-prajurit Pajang yang memang telah membuat hubungan lebih dahulu dengan Ki Ajar, mereka berdua tentu sudah menjadi debu.

Pengalaman itu ternyata merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi kedua orang anak muda itu. Mereka akan dapat menilai setiap langkahnya di kemudian hari. Apakah mereka memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya.

Namun ketika keduanya berbicara tentang hal itu, Laksana masih juga berkata, “Tetapi seandainya kita tidak memberanikan diri memasuki tempat itu, gadis Ki Wiradadi tentu sudah menjadi korban.“

“Belum tentu” jawab Manggada, “nyawa seseorang berada di tangan Yang Maha Agung. Bukankah Ki Ajar telah bersiap pula untuk melakukannya. Bahkan Ki Ajar telah berhubungan dengan para prajurit di Pajang.“

Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian.“

Manggada tidak berkata apa-apa lagi. Ia justru sedang merenungi dirinya sendiri. Bekal yang diberikan Ki Ajar ternyata sangat berarti baginya, karena ia akan mampu mengungkapkan tenaga cadangannya lebih meningkat, lagi. Bahkan Ki Ajar telah memberikan petunjuk bagaimana ia dapat mengembangkannya sendiri dengan latihan-latihan yang teratur dan semakin rumit, sehingga seakan-akan dapat membuka seluruh jalur-jalur nadinya sampai yang sekecil-kecilnya. Dengan demikian, ia akan dapat mempergunakan tenaga cadangannya sebanyak-banyaknya.

Dalam pada itu, ternyata perjalanan pasukan Pajang dan Ki Wiradadi pada satu saat memang harus berpisah. Padukuhan Ki Wiradadi tidak berada di pinggir jalan menuju ke Pajang. Namun jalan yang harus ditempuh oleh Ki Wiradadi dan anak gadisnya, tidak terlalu jauh lagi.

Sementara itu, anak gadis Ki Wiradadi sudah menjadi sangat letih. Bahkan hampir tidak dapat melanjutkan perjalanan lagi. Karena itu, Ki Wiradadi menyampaikannya kepada pemimpin prajurit Pajang itu, bahwa ia dan anaknya akan beristirahat. Selanjutnya, mereka akan memisahkan diri mengambil jalan terdekat menuju ke rumahnya.

Pemimpin prajurit Pajang menjadi ragu-ragu. Dengan nada rendah, ia bertanya, “Apakah tidak ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas anak gadis Ki Wiradadi?, “

“Mudah-mudahan tidak. Tetapi sudah barang tentu bahwa kami tidak mempunyai pilihan lain, karena kami tidak akan mungkin ikut bersama pasukan ini ke Pajang” berkata Ki Wiradadi.

“Jika Ki Wiradadi menghendaki, kami akan mengantar Ki Wiradadi sampai rumah” berkata pemimpin prajurit itu.

“Terima kasih. Kami tidak ingin terlalu merepotkan para prajurit” berkata Ki Wiradadi.

“Soalnya bukan itu” jawab pemimpin prajurit itu, “tetapi jika Ki Wiradadi bertemu dengan Panembahan Lebdagati yang lepas dari tangan kita, maka segala jerih-payah Ki Wiradadi akan hilang tanpa arti sama sekali.“

“Kita akan berdoa” berkata Ki Wiradadi: Kemudian pemimpin prajurit Pajang itu berpaling kepada Manggada dan Laksana. Dengan ragu-ragu, pemimpin prajurit itu bertanya, “Kalian akan pergi kemana anak-anak muda?“

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada yang menjawab, “Biarlah kami mengawani Ki Wiradadi sampai ke rumahnya. Selanjutnya, kami berdua akan dapat melanjutkan perjalanan kami.“

“Kemanakah tujuan kalian sebenarnya?” bertanya pemimpin prajurit itu.

Manggada termangu-mangu. Namun akhirnya ia menjawab, “Kami memang akan pergi ke Pajang. Tetapi kami tidak dibatasi oleh waktu. Kapan saja, kami dapat menempuh perjalanan ke Pajang.“

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sokurlah. Jika demikian, biarlah anak-anak muda itu mengantar Ki Wiradadi sampai ke rumah. Meskipun seandainya Panembahan Lebdagati ingin menyelesaikan kalian semuanya, tidak akan mengalami kesulitan. Tapi bagaimanapun juga, Ki Wiradadi tidak sendiri.“

Demikianlah. Sejenak kemudian. Ki Wiradadi memisahkan diri bersama anak gadisnya serta Arya Manggada dan Laksana, yang telah membantunya mencari anak gadis itu. Meskipun kedua anak muda itu tidak dapat menyelesaikan orang-orang yang menculik anak gadisnya, karena orang itu ternyata berilmu tinggi, namun keduanya telah mendorongnya untuk berusaha tanpa mengenal hambatan apapun juga.

“Yang Maha Agung telah memenuhi permohonanku” berkata Ki Wiradadi di dalam hati.

Sejak semula ia memang yakin, jika permohonannya dipanjatkan dengan kesungguhan hati, Yang Maha Agung akan memberinya, asal permohonan itu tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.

Untuk tidak menarik perhatian banyak orang, Ki Wiradadi, Manggada dan Laksana tidak mengenakan senjatanya, terutama busur dan anak panahnya, dipunggung. Ketiganya memberikan kesan sebagai pemburu yang pulang dari hutan.

Dalam pada itu, Ki Wiradadi yang melihat anaknya letih, mengajak untuk berhenti di kedai pinggir jalan. Kedai yang tidak terlalu besar, namun cukup ramai. Ketika ketiga orang beserta anak gadis Ki Wiradadi, memasuki kedai itu, beberapa orang telah berada di dalam.

Namun Ki Wiradadi masih mendapatkan tempat di sudut agak terpisah, sehingga tidak banyak terganggu oleh para pembeli yang lain. Kebetulan menghadap pintu butulan.

Demikian mereka memesan minuman, dalam waktu singkat pesanan telah dihidangkan. Begitu cepat, sehingga Ki Wiradadi berkata, “Pelayanan di kedai ini cukup baik. Itulah agaknya yang membuat kedai ini menjadi ramai dengan pembeli.“

“Memang menyenangkan” sahut Manggada, “jika kita harus menunggu terlalu lama, rasa-rasanya begitu cepat menjadi jemu. Kadang-kadang kita tidak lagi merasa haus dan lapar.“

“Nah” berkata Ki Wiradadi, “sekarangi kita akan makan apa?”

Mereka pun kemudian memesan nasi untuk mereka berempat.

Tetapi selagi mereka mulai meneguk minuman, mereka dikejutkan kehadiran beberapa orang penunggang kuda. Begitu cepat dan tiba-tiba berhenti di depan kedai itu, sehingga debu berhamburan.

Semua berpaling ke arah mereka. Empat orang anak muda diatas punggung kuda. Demikian mereka berloncatan turun, terdengar suara tertawa mereka yang keras.

“Kita makan dulu” berkata salah seorang di antara mereka, hampir berteriak.

Yang lain pun kemudian mengikuti anak muda itu masuk ke dalam kedai.

Sementara itu, orang-orang didalam kedai tiba-tiba menjadi gelisah. Seorang di antara mereka berdesis, “Anak-anak itu lagi.“

Ki Wiradadi tertarik pada kata-kata itu. Selagi anak-anakitu masih di luar, ia bangkit dan melangkah mendekati orang itu sambil berdesis, “Kenapa dengan anak-anakitu?“

“Mereka adalah anak orang kaya. Mereka terlalu dimanjakan, sehingga tidak mau menghargai orang lain. Mereka menganggap bahwa uang di kantong ikat pinggang mereka, adalah segala-galanya” berkata orang itu.

Tetapi mereka tidak sempat berbicara lagi. Anak-anak muda itu telah berdiri di pintu. Yang agaknya paling berpengaruh di antara mereka, berdiri bertolak pinggang sambil memandang berkeliling. Sementara, Ki Wiradadi melangkah kembali ke tempatnya.

“Nampaknya kedai ini telah penuh” berkata yang berdiri di pintu. Tapi seorang yang berdiri di sampingnya, setelah matanya singgah di sudut kedai itu, berkata, “He, di sana ada tempat.“

Kawan-kawannya serentak memandang ke arah yang   ditunjuk. Yang bertolak pinggang kemudian tertawa sambil berkata, “Telah disediakan tempat bagi kita.“

Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Pelayan yang menyerahkan nasi pesanan Ki Wiradadi, berbisik, “Hati-hati dengan anak perempuan Ki Sanak.“

Ki Wiradadi mengerutkan keningnya. Ia cepat menyadari keadaan. Karena itu, ketika pelayan pergi, Ki Wiradadi berkata, “Marilah, anak-anak muda. Aku mohon kalian duduk di lincak pada deretan ini.“

“Kenapa?” bertanya Laksana yang duduk bersama Manggada, berhadapan dengan Ki Wiradadi dipisahkan geledeg bambu rendah untuk meletakkan makanan.

“Cepatlah, sebelum anak-anak muda itu mengambil tempat. Jangan pikirkan yang macam-macam. Anak gadisku tentu tidak keberatan jika ia tahu kepentingannya” Berkata Ki Wiradadi.

Manggada dan Laksana tidak sempat berpikir. Sementara anak-anak muda itu memasuki kedai sambil tertawa dan berkelakar berlebihan. Manggada dan Laksana telah bergeser duduk di lincak bambu, di deretan Ki Wiradadi dan anak perempuannya, sehingga gadis itu berada di antara Ki Wiradadi dan Laksana. Baru kemudian Manggada duduk sambil menarik mangkuk minumannya dari sisi lain.

Sejenak kemudian, keempat anak muda itu sudah berdiri di sebelah lincak panjang mereka. Seorang di antaranya berkata, “Tempat kita sudah digeser anak-anak ini.“

Yang lain tertawa. Katanya, “Barangkali mereka termasuk keluarga dekat, atau barangkali adiknya atau kakaknya.“

Manggada dan Laksana tidak menjawab. Mereka tetap sibuk minum minuman hangat mereka. Sementara itu, pelayan kedai telah menghidangkan pula makanan bagi Manggada dan Laksana.

“Orang-orang ini membawa busur” tiba-tiba seorang di antara anak-anak muda itu berteriak.

Ternyata busur dan anak panah yang mereka letakkan di gledeg bambu rendah itu, menarik perhatian. Mereka berganti-ganti menimangnya.

Seorang di antara mereka bertanya, “He, Ki Sanak. Apakah kalian pemburu?”

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab lemah, “Ya, anak-anak muda. Kami adalah pemburu, karena kami tidak punya matapencaharian lain.“

“Kalian jual daging buruan itu?” bertanya salah seorang lagi.

“Tidak” jawab Ki Wiradadi, “penghasilan kami justru dari kulit binatang buruan itu.“

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba, seorang di antara mereka.berdiri di belakang anak gadis Ki Wiradadi. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah gadis ini juga ikut berburu?”

Ki Wiradadi termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Ya, anak-anak muda. Anak gadisku sudah terbiasa ikut dalam perburuan. Jika kami berada di tengah hutan sampai berhari-hari, dialah yang menyediakan makan dan- minuman kami.“

“Luar biasa” desis anak muda yang berdiri di belakang anak perempuan Ki Wiradadi, yang duduk dengan tubuh gemetar di amben bambu. Meskipun ia tidak akan mengalami peristiwa seperti di atas altar penyerahan korban, tapi ngeri juga melihat tingkah laku anak-anak muda itu.

“Sayang Ki Sanak” berkata anak muda yang lain, “gadis itu terlalu cantik untuk hidup di dalam hutan. Kulitnya yang lembut, dan sorot matanya yang redup, membuatnya mehjadi seorang gadis yang luruh.“

Tapi tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda itu berkata, “Mari, kita duduk untuk makan dan minum.“

Keempat orang itupun kemudian duduk di atas lincak panjang, berhadapan dengan Ki Wiradadi, anak gadisnya dan kedua orang anak muda yang menyertainya.

Manggada dan Laksana nampaknya tidak begitu menghiraukan mereka. Keduanya, tetap memakan pesanan mereka dengan lahapnya.

Tetapi sikap kedua orang anak muda itu, menarik perhatian keempat orang berkuda yang baru datang itu. Mereka agak tersinggung dengan sikap itu. Orang-orang lain begitu menghormati mereka, tapi kedua anak muda itu sama sekali tidak memperhatikannya, apalagi menghormatinya sebagai-mana orang lain.

Namun anak-anak muda itu mempunyai cara tersendiri untuk mengusik Manggada dan Laksana. Seorang di antara anak-anak muda itu tiba-tiba saja bertanya, “Ki Sanak. Dari pada anak gadismu kau bawa ke sana ke mari, bahkan berburu di hutan, biarlah aku membawanya. Ibuku memerlukan seorang pelayan khusus. Anakmu tentu akan diterima oleh ibuku. Aku menanggungnya. Jika ibu menolaknya, biarlah aku yang membawanya.“

Laksana dan Manggada memang tergelitik hatinya. Tetapi keduanya tidak cepat mengambil sikap. Keduanya masih saja makan tanpa mengangkat wajah mereka.

Ki Wiradadi pun tidak menjawab sama sekali. Tetapi ia tidak dapat makan begitu saja, tanpa menghiraukan anak-anak muda itu. Apalagi ketika seorang di antara mereka berkata, “Ki Sanak. Semua orang tahu di mana rumah kami. Karena itu, biarlah aku membawa anak perempuanmu sekarang. Ambil nanti di rumahku. Aku membeli sebuah kalung emas, yang barangkali akan berarti bagi anakmu.“

Yang lain telah menyahut, “Anakmu terlalu cantik.” Anak muda itu sama sekali tidak menahan diri lagi. Ia telah berdiri. Dan dari tempatnya, ia mencoba menggapai wajah anak Ki Wiradadi.

Betapapun mereka menahan diri, namun terasa bahwa api telah mulai menyentuh perasaan mereka.

Anak perempuan Ki Wiradadi bergeser, mendesak ayahnya, sehingga Ki Wiradadi tergeser sejengkal.

Tetapi anak-anak muda yang datang berkuda itu justru tertawa melihat anak Ki Wiradadi ketakutan. Sambil tertawa, seorang di antara mereka berkata, “Kau tambah cantik. Pipimu menjadi merah.“

Yang lain tertawa menyentak. Di sela-sela tertawanya, seorang berkata, “Gadis itu semakin membuat aku gila. Mari kita persilahkan gadis itu singgah di rumah kita. Makin cepat semakin baik.“

Tanpa menghiraukan Ki Wiradadi, Manggada serta Laksana, anak-anak muda itu mulai berbuat kasar. Mereka bangkit dan melingkari geledeg bambu tempat meletakkan makanan. Dengan serta merta, mereka menangkap pergelangan tangan gadis yang menjadi semakin ketakutan itu.

Orang-orang yang ada di dalam kedai tidak ada yang berani menolong. Mereka kebanyakan sudah mengenal anak-anak muda itu, yang berasal dari keluarga kaya dan berilmu tinggi. Jika anak-anak itu tidak dapat menyelesaikan satu persoalan, yang biasanya menyangkut gadis, janda, atau bahkan perempuan yang sudah bersuami, beberapa orang upahan akan ikut campur.

Karena itu, mereka yang tidak sampai hati melihat seorang gadis diseret ke atas punggung kuda dan dibawa lari ke tempat yang tidak banyak diketahui orang, lebih baik secepatnya meninggalkan kedai itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba Manggada berteriak, “Tolong, tolong saudara kami ini.“

Sejenak ruangan itu dicekam ketegangan. Tapi keempat anak muda yang berusaha menyeret gadis itu, justru tertawa berkepanjangan. Seorang di antara mereka berkata, “Tidak ada gunanya kau berteriak. Tidak ada orang yang akan menolongmu.“

Bahkan Laksana bertanya, “Kenapa kau berteriak minta tolong. Apa kita tidak dapat menyelesaikan sendiri?”

Tapi Manggada menjawab, “Aku bukan minta tolong. Aku hanya ingin tahu pengaruh mereka terhadap orang-orang di sini. Ternyata tidak seorang pun dari sekian banyak laki-laki yang berani menolong, meski nampaknya mereka ingin.“

“Persetan” geram salah seorang dari anak muda yang ingin merampas Ki Wiradadi itu, “apa yang kau katakan tentang kami?”

Ki Wiradadi kemudian berdiri. Ditariknya anak gadisnya, dan disuruhnya berdiri menempel dinding. Sementara, Ki Wiradadi berdiri di depannya. Tapi tampaknya Ki Wiradadi masih bersikap tenang.

Orang-orang dalam kedai itu menjadi heran. Tapi Manggada justru tersenyum sambil berkata, “Pengaruh kalian besar di sini. Tapi bukan pengaruh baik. Kalian ditakuti oleh orang-orang di tempat ini. Terbukti, tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu ketika kalian berusaha melakukan kejahatan. Lihat, semua laki-laki di kedai ini bagaikan membeku di tempatnya. Satu dua merasa lebih baik pergi daripada menolong kami yang mengalami kesulitan.“

“Tutup mulutmu” geram salah satu pemuda itu, “kami memang ditakuti di sini. Tidak ada orang yang berani menghalangi kemauan kami. Nampaknya kau orang asing di sini. Karena itu, aku peringatkan agar kalian tidak menentang niat kami. Biarkan kami membawa gadis itu. Tunggu di sini. Kami akan mengembalikannya kemari dengan sebuah kalung emas di lehernya.“

Tetapi Manggada justru tertawa. Katanya, “Kalian terlalu kasar. Kalian tidak berusaha mengambil hati gadis itu atau ayahnya atau kami, saudara-saudaranya. Kalian seperti serigala melihat kelinci yang putih mulus.“

“Diam” seorang di antara mereka berteriak, “jika kalian berani menentang kehendak kami, maka kalian akan menyesal. Sementara, gadis itu akan mengalami nasib lebih buruk.“

Namun Laksana menyahut tidak kalah lantangnya, “Jangan menakut-nakuti kami. Kalian tentu tidak akan seimbang dibanding Panembahan Lebdagati.“

Keempat orang-itu memang termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka sempat juga bertanya, “Siapa Panembahan Lebdagati itu?”

“Baiklah. Jika kau belum pernah mendengar, tidak ada gunanya aku memberitahukan. Tapi yang perlu kau ketahui, Panembahan Lebdagati itu berilmu sangat tinggi.” jawab Laksana.

“Apa hubungannya dengan kami?” bertanya seorang di antara mereka.

“Kalian tentu bukan murid-muridnya” jawab Laksana.

“Persetan” geram yang lain dari keempat anak-anak muda itu, “berikan gadis itu padaku. Kau tidak akan mendapat pertolongan dari siapapun.“

“Dari bebahu padukuhan ini?” desis Manggada.

“Persetan dengan mereka. Yang jelas berani ikut campur, kami putar lehernya sampai patah.” geram anak muda itu.

Manggada akhirnya kehilangan kesabaran. Kemudian katanya pada Ki Wiradadi, “Lindungi anakitu. Biarlah kami melayani keempat anak-anak muda ini.“

Keempat anak muda yang lebih tua dari Manggada dan Laksana itu, terkejut mendengar kata-kata Manggada. Bahkan orang-orang dalam kedai itupun terkejut. Tetapi mereka mengerti bahwa anak muda itu tidak benar-benar minta tolong tadi. Ia hanya ingin mengetahui lingkungan yang sedang dihadapinya.

Seseorang di antara anak muda penunggang kuda itu menggeram, “Apakah kau sudah jemu hidup?”

“Pertanyaan yang aneh” desis Manggada tanpa menjawab pertanyaan itu.

Laksana tidak sabar lagi. Tapi ketika ia bergeser maju, Manggada mencegahnya. Katanya, “Jangan di dalam.“

“Bagus” sahut Laksana. Kemudian katanya, “Mari kita keluar. Jika kalian berhasil mengalahkan kami berdua, baru kalian akan berhadapan dengan ayah. Dan bila ayah juga kalah, bawalah gadis itu kemana kalian suka.“

Keempat anak muda itu merasa heran melihat sikap kedua orang yang mengaku sebagai saudara gadis itu. Keduanya masih sangat muda, tapi agaknya memiliki kepercayaan diri sangat tinggi.

Seorang dari keempat anak muda itu berkata lantang, “Cepat keluar. Kita selesaikan persoalan ini dengan baik, tapi jangan mencoba berbuat licik dengan membawa gadis itu pergi. Dia harus ikut keluar, agar dapat kami awasi.“

“Bagus” kata Manggada, “gadis itu akan berada di luar pula. Dengan berkelahi di luar, kita tidak perlu mengganti barang-barang atau makanan dan minuman yang kita rusakkan.“

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Manggada dan Laksana melangkah keluar. Keempat anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun telah menyusul Manggada dan Laksana. Seorang di antara mereka sempat mengajak Ki Wiradadi dan anak gadisnya ikut keluar pula.

Dengan tenang, Ki Wiradadi mengajak anak gadisnya keluar dari kedai itu. Bahkan ia sempat berbisik, “Satu hambatan kecil dibandingkan apa yang pernah kau alami, ngger?”

Gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah keluar, mengikuti Ki Wiradadi.

Beberapa orang memang menjadi tegang. Mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak mengenal, siapa keempat anak muda penunggang kuda itu. Orang-orang asing itu tentu akan mengalami banyak kesulitan jika mereka berani malawan mereka.

Tetapi orang-orang itu pun menyadari, bahwa mereka tentu tidak akan begitu saja menyerahkan gadis mereka yang akan dibawa oleh keempat orang anak muda penunggang kuda itu, sebagaimana sering mereka lakukan.

Sejenak kemudian, kedua belah pihak telah berada di halaman kedai itu. Ki Wiradadi yang masih tenang-tenang saja, mengajak anak gadisnya berdiri di bawah sebatang pohon. Sementara Manggada dan Laksana telah berdiri di tengah-tengah halaman yang agak luas, justru di samping kedai itu.

Keempat orang anak muda itupun kemudian perlahan-lahan mendekati kedua orang yang telah menunggunya.

Tetapi dari keempat orang itu, hanya dua saja yang melangkah terus. Nampaknya, dua orang yang lain tidak akan segera turun ke arena.

“Patahkan tangan mereka” berkata salah seorang yang kemudian berhenti beberapa langkah dari kawan-kawannya yang mendekati Manggada dan Laksana.

“Kenapa kalian tidak turun bersama-sama?” bertanya Laksana.

“Permainan licik. Kalian mencari kesempatan untuk melarikan gadis itu bukan?” bertanya seorang di antara mereka yang tidakikut turun ke arena.

Manggada dan Laksana tidak menyahut. Namun keduanya telah bersiap. Masing-masing menghadapi satu orang lawan.

Bagi Manggada dan Laksana, hal itu memang lebih baik. Dengan demikian, mereka akan bertempur melawan seorang demi seorang. Sebenarnya, keduanya sama sekali tidak ingin merendahkan kemampuan orang lain, termasuk keempat anak muda itu. Tapi sikap keempat orang itu sangat menjengkelkan.

Pengalaman kedua anak muda itu di seberang hutan Jatimalang, membuatnya tetap tenang dan percaya diri menghadapi lawan-lawannya. Bahkan Laksana telah berkata di dalam hatinya, “Satu kesempatan untuk menguji ilmu, setelah mendapat dorongan kekuatan dari Ki Ajar Pangukan.“

Sejenak kemudian, dua anak muda yang datang berkuda itu telah berdiri di hadapan Manggada dan Laksana, sementara masing-masing pihak telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Bagaimanapun juga, Manggada dan Laksana telah mendapat pesan dari guru mereka agar tidak merendahkan orang lain. Mereka tidak boleh merasa dirinya terlalu baik dalam penguasaan ilmu, sehingga menyombongkan diri. Kesombongan adalah kelemahan yang paling berbahaya di dalam benturan ilmu kanuragan.

Dalam pada itu, sejenak kemudian, dua orang yang mengganggu anak gadis Ki Wiradadi itu telah mulai menyerang. Ternyata keduanya mampu bergerak cepat. Serangan mereka nampak garang, sehingga baik Manggada maupun Laksana harus melompat menghindarinya.

Namun lawan-lawan mereka tidak membiarkan keduanya terlepas dari sasaran. Dengan serta merta, mereka telah memburu dengan serangan-serangan yang garang.

Beberapa serangan telah berlalu. Tetapi keduanya sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Manggada dan Laksana. Bahkan, anak-anak muda yang telah menyeberangi hutan Jatimalang itu segera dapat menjajagi kemampuan lawan. Ternyata mereka tidak harus bekerja keras, sebagaimana mereka lakukan di padepokan raksasa yang menyeramkan itu.

Ketegangan yang semula mencengkam jantung, di saat kedua anak muda yang mengganggu gadis Ki Wiradadi itu menyerang, kini menyusut. Menurut pengamatan, anak-anak muda itu sekedar mengandalkah dukungan kekuatan di belakang mereka, karena mereka sendiri ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Keduanya sama sekali tidak mempunyai latar belakang kanuragan yang memadai, meskipun agaknya mereka pernah berlatih.

Tetapi hal itu sangat tidak menarik bagi Laksana. Ia tidak merasa mendapat kesempatan untuk menilai ilmunya, karena lawannya sama sekali tidak bertenaga menurut penilaian-nya.

Karena itu, Laksana ingin segera mengakhiri pertempuran yang mulai menjemukan itu. Memang agak berbeda dengan niat Manggada. Ia ingin membiarkan lawannya kelelahan dan berhenti dengan sendirinya. Laksana telah melakukan yang terbaik menurut penilaiannya.

Dalam waktu singkat, Laksana telah benar-benar mendesak lawannya. Beberapa kali pukulannya telah mengena dan membuat lawannya menyeringai kesakitan.

Akhirnya, lawan Laksana tidak dapat menolak kenyataan yang dialaminya. Laksana terlalu kuat baginya, sehingga pada satu serangan yang keras, lawan Laksana terlempar dan terbanting jatuh. Sambil menyeringai menahan sakit di punggung, anak muda itu berusaha untuk bangkit. Meski ia berhasil berdiri, tapi rasa-rasanya ia sudah tidak mampu lagi berkelahi.

Seorang kawannya yang berdiri di luar arena, segera berdiri mendapatkannya. Dengan cemas ia bertanya, “Bagaimana?”

“Punggungku telah patah. Ia harus bertanggung-jawab atas perbuatannya. Punggungnya harus dipatahkan juga. Bahkan, tulang-tulangnya harus diremukkan.” geram anak muda yang terjatuh itu.

Kawannya termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling melihat kawannya yang seorang lagi, nampak masih berloncatan. Sama sekali tidak sempat menggapai Manggada. Apalagi mengenainya dengan serangan-serangan yang berarti. Bahkan, Manggada beberapa kali telah menyentuh tubuh anak muda itu. Terakhir, disambarnya ikat kepala anak muda itu dan dilemparkannya tinggi-tinggi.

“Setan kau” geram anak muda itu.

Manggada tertawa. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat seperti itu. Ambil ikat kepalamu.“

Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi nafasnya telah terengah-engah. Ia tidak dapat menerima kekalahan begitu saja, tapi ia pun tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan ini.

Karena itu, ia berpaling kepada kawannya dan berkata, “Kita tangkap anakitu.“

Tetapi kawannya ragu-ragu. Ia sudah lihat bagaimana Manggada mempermainkan lawannya, sehingga kehabisan nafas.

Tiba-tiba saja anak muda yang termangu-mangu itu berteriak, “Jangan biarkan mereka lolos. Aku akan memanggil Sura Gayam. Ia akan menyelesaikan segala-galanya.“

Tanpa menunggu jawaban, anak muda itu segera berlari dan melompat ke punggung kudanya. Ketika kuda itu berlari, terdengar suaranya, “Dalam sekejap aku kembali”

Anak muda yang hampir kehilangan kesempatan untuk berdiri lagi itu, karena tulang punggungnya sakit, berkata, “Tunggu sebentar. Tulang punggungmu pun akan dipatahkan.“

“Aku tidak mematahkan tulang punggungmu” jawab Laksana, “jika tulang punggungmu patah, kau tidak dapat bergerak sama sekali. Apalagi bangkit berdiri.“

“Nah, kau mulai merasa takut” geram anak muda itu.

Tetapi Laksana tertawa. Katanya, “Aku akan menunggu orang yang sedang dipanggil oleh kawanmu itu. Aku tahu, orang itu pastilah upahan. Justru karena itu, aku akan membuat perhitungan dengan orang-orang seperti itu.“

“Kau akan menyesal” geram anak muda itu.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain. Kalian tentu akan berusaha mencegah jika aku berusaha melarikan diri. Sementara itu, saudara perempuanku tentu tidak akan dapat berlari cepat. Karena itu, aku harus menunggu. Orang-orang upahan yang tidak mempedulikan kepentingan orang lain, bahkan untuk membunuh sekalipun, harus dibuat menjadi jera.” berkata Laksana.

“Suaramu seperti dapat meruntuhkan langit” geram kawan anak muda yang punggungnya bagaikan patah itu.

“Tidak. Aku tidak berniat menyombongkan diri. Aku berkata sebenarnya. Aku akan menunggu orang upahanmu itu datang, dan kemudian membuatnya jera. Jika ia keras kepala, terpaksa harus dibuat kehilangan kemampuan untuk berbuat seperti itu selanjutnya” berkata Laksana.

Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu.

Sementara itu, Manggada sudah sampai pada akhir permainannya. Lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Nafasnya berkejaran di lubang hidungnya. Keringatnya bagai terperas membasahi pakaiannya. Ketika ia menyerang Manggada, dan tidak mengenai sasarannya, anak muda itu terseret oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga hampir saja jatuh terjerembab. Wajahnya bagai tersengat api ketika tahu Manggadalah yang menahan tubuhnya, sehingga ia tidak terjatuh.

“Cukup” geram anak muda itu, “kau telah menghinaku. Sebentar lagi, kau akan menjadi sayatan daging.“

Manggada tersenyum. Katanya, “Jangan terlalu garang. Sekarang, kau cukup menemui orang tua itu. Minta maaf padanya, dan kami akan pergi dari tempat ini.“

“Kau tidak boleh pergi. Kau harus mendapat hukuman yang sesuai dengan kesombonganmu, berani melawan kami. Tidak ada orang yang pernah menolak kehendak kami, apapun akibatnya. Apalagi hanya menyerahkan seorang gadis, yang nanti akan segera aku kembalikan. Sebab taruhannya adalah nyawa” geram anak muda itu.

“Untuk kehormatan seorang gadis, taruhannya memang nyawa. Aku sudah siap” berkata Manggada yang mulai tersinggung lagi.

“Sebentar lagi, orang-orangku akan datang” geram anak muda itu.

“Semakin cepat, semakin baik.” Jawab Manggada yang sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya.

“Kau memang sombong sekali. Kau orang asing di sini, sehingga belum mengenal orang yang namanya Sura Gayam.” anak muda yang marah itu hampir berteriak.

Tetapi ia sendiri sudah tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu.

“Aku akan menunggunya” berkata Manggada, sebagaimana dikatakan Laksana.

Belum lagi anak muda itu menyahut, mereka telah mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian, debu pun telah mengepul. Dari tikungan, muncul empat ekor kuda mendekati kedai itu dengan cepat.

“Ternyata Sura Gayam tidak sendiri” geram anak muda itu.

Manggada mengerutkan keningnya. Tapi ia kemudian berkata, “Aku akan menunggunya. Biarlah ia mempersiapkan diri bersama kawan-kawannya.“

“Nasibmu memang buruk. Seandainya ia datang sendiri pun, kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan padukuhan ini. Apalagi kini ia datang dengan dua temannya” berkata anak muda itu.

Manggada tidak menjawab. Ketika kuda-kuda itu sampai di halaman kedai, Manggada mendekati Ki Wiradadi.

“Hati-hatilah Ki. Nampaknya persoalan telah berkembang. Meski tidak segawat di seberang hutan Jati-malang, tapi kerikil-kerikil kecil seperti ini kadang-kadang dapat membuat kita tergelincir. Karena itu, kita harus tetap berhati-hati.“

Ki Wiradadi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pikiran anak muda itu cukup dewasa menanggapi keadaan. Sementara, Laksana yang juga mendekat berdesis, “Satu kesempatan yang tidak boleh kita lewatkan. Kita dapat menjajagi tingkat kemampuan ilmu kita, setelah mendapat kesempatan mengembangkan tenaga cadangan sebagaimana tuntutan Ki Ajar.“

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun ia akhirnya berkata, “Kita tidak mencari lawan.“

“Memang tidak. Karena itu, kesempatan seperti ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Bukan kita yang memulainya” sahut Laksana.

Manggada mengangguk, meskipun ragu-ragu. Katanya berguman, “Memang bukan kita yang memulai.“

Laksana tidak menjawab lagi. Perhatiannya tertambat pada tiga orang berkuda yang datang tergesa-gesa bersama anak muda yang menyusulnya.

“Untunglah ia ada dirumah” berkata anak muda itu, demikian ia meloncat dari punggung kudanya.

“Mana anak yang kau katakan itu?” bertanya orang yang kemudian juga turun dari kudanya dengan tenang, sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dua orang kawannya pun ikut pula turun, dan berdiri dibelakang Sura Gayam. Sementara itu, kudanya dibiarkan menepi sendiri, dan menunggu di bawah bayangan pepohonan.

Tetapi dalam pada itu, sikap Laksana mengejutkan mereka. Anak muda itu telah melangkah maju sambil bertanya, “Inikah orang-orang upahan itu? Mana yang bernama Sura Gayam?”

Wajah Sura Gayam menjadi merah. Ia tidak terbiasa mengalami perlakuan seperti itu. Orang-orang di sekitar tempat itu, bisa jadi gemetar mendengar namanya. Tapi anak muda ini, begitu merendahkannya.

Karena itu, iapun menggeram, “He anak muda. Siapa kau? Nampaknya kau ingin kukoyak mulutmu.“

Laksana tertawa. Katanya, “Satu ciri dari orang-orang upahan. Garang dan kadang-kadang tidak mau mengerti perasaan orang lain.“

“Setan kau” Sura Gayam hampir berteriak, “sekali lagi kau berbicara dengan cara yang gila itu, aku akan mengoyak mulutmu. Aku tidak sekadar mengancam. Aku akan sungsuh-sungguh melakukannya.

Ternyata Laksana memang sudah memilih lawan. Ia ingin langsung berhadapan dengan orang yang namanya Sura Gayam itu. Karenanya, peringatan dan ancaman orang itu seolah-olah merangsangnya untuk melakukannya lagi.

Sambil tertawa. Laksana berkata, “Kau memang menyenangkan Sura Gayam. Karena itu, orang-orang kaya suka mengupahmu hanya untuk kelucuan-kelucuan yang kau buat.“

Sura Gayam, orang yang ditakuti semua orang disekitarnya, benar-benar merasa terhina. Karena itu, ia meloncat, menyerang dengan garangnya.

Tetapi Laksana sudah siap menghadapinya. Ia tidak berkelahi sebagaimana melawan anak-anak muda yang tidak punya daya tadi. Menghadapi orang garang dan ditakuti banyak orang itu, Laksana tidak ingin sekadar main-main.

Karena itu, Laksana mempersiapkan diri sebaik-baiknya, Demikian serangan yang mendebarkan itu datang, Laksana melenting menghindarinya, sehingga serangan garang itu sama sekali tidak mengenainya.

Tetapi Sura Gayam yang marah, tidak membiarkan Laksana terlepas dari tangannya. Dengan tangkasnya, ia segera menggeliat dan meloncat memburu. Tangannya terayun mendatar, mengarah ke kening anak muda itu.

Namun ternyata, serangannya sekali lagi tidak mengenai sasaran. Bahkan Laksana sempat berkata, “Jangan tergesa-gesa. Perhitungkan setiap seranganmu, sehingga kau tidak terlalu menghamburkan tenaga sia-sia.“

“Diam” bentak Sura Gayam yang menjadi semakin marah. Namun Laksana justru tertawa berkepanjangan. Laksana baru terdiam ketika dengan wajah membara Sura Gayam menyerangnya lagi.

Orang orang yang menyaksikan perkelahian itu, menjadi tegang. Sura Gayam adalah orang yang pilih tanding.

Ditakuti dan semua kehendaknya harus terlaksana. Sebagai orang upahan, yang terpenting baginya adalah upah.

Demikian pula menghadapi anak-anak muda itu. Jika ia dapat memenuhi kehendak mereka, ia akan mendapat upah cukup banyak. Apalagi menyangkut wanita.

Tetapi saat itu, ia menemukan lawan di luar dugaannya. Anak yang masih sangat muda itu, ternyata memiliki kecepatan gerak yangjjapat mengimbangi kecepatan serangannya, sehingga beberapa kali menemui kegagalan.

Manggada yang menyaksikan sikap Laksana, hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Laksana akan menguji ilmunya, dan meningkatkan kemampuannya melepaskan tenaga cadangan, setelah mendapat petunjuk dari Ki Ajar Pangukan.

Terlihat Laksana masih berloncatan dengan tangkasnya. Tubuhnya seakan-akan menjadi tidak berbobot. Kekuatan tenaga cadangan di dalam dirinya, rasa-rasanya memang menjadi berlipat.

Dalam pada itu, kedua kawan Sura Gayam menjadi heran menyaksikan perkelahian itu. Mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Sura Gayam yang biasanya menyelesaikan lawan-lawannya dengan cepat, harus membiarkan anak muda itu berkelahi beberapa lama.

Akhirnya, kedua orang itu melihat bahwa Sura Gayam mengalami kesulitan untuk menundukkan lawannya. Bahkan beberapa saat kemudian, mereka melihat Laksana mendesak orang yang dianggap tidak terkalahkan itu.

Karena itu, keduanya di luar sadar melangkah maju. Namun mereka tertegun dan berpaling ketika melihat Manggada juga bergerak maju.

“Kau mau apa?” bertanya salah seorang dari kedua kawan Sura Gayam itu.

“Tidak apa-apa” jawab Manggada, “aku hanya ingin mengetahui apa yang akan kalian lakukan.“

“Kami sudah siap melibatkan diri untuk melumpuhkan anak muda yang sombong itu.” jawab orang itu, “Nah, sekarang terserah padamu. Kau akan membantu kawanmu atau memilih menyelamatkan diri.“

Manggada tersenyum. Katanya, “Kau aneh, seperti kawanmu yang bernama Sura Gayam itu. Jika orang upahan seperti kalian mengenal setia kawan, apalagi aku.“

Kedua orang itu terkejut mendengar jawaban Manggada. Ternyata Manggada berhasil memancing kemarahan lawannya. Bukan sekadar untuk mendapat kesempatan berkelahi. Tapi bila kedua orang itu marah, perhitungan mereka akan menjadi kabur. Dengan demikian, mereka tidak dapat bertempur dengan baik, karena yang mereka lakukan tidak berdasar nalar bening.

Seperti yang diharapkan Manggada, kedua orang itu menjadi sangat marah. Mereka kemudian melangkah mendekati Manggada yang bergeser beberapa langkah, menjauhi Ki Wiradadi dan anak gadisnya.

“Setan kau” geram salah seorang dari kedua orang itu, “kau ingin mati lebih dulu dari kawanmu itu.“

Manggada tertawa pendek. Katanya, “Aku masih terlalu muda untuk mati.“

“Tutup mulutmu” geram orang itu.

“Aku menjawab pertanyaanmu” sahut Manggada.

Kedua orang itu bertambah marah, dan mulai bergerak mendekat. Tetapi mereka telah memilih arah yang berbeda, sehingga Manggada harus berhati-hati menghadapinya.

Ketika seorang di antaranya menyerang, Manggada meloncat menghindar. Tapi diluar dugaan, dengan cepat ia menyerang lawannya yang seorang lagi.

Yang diserang terkejut. Dengan serta merta, ia meloncat menghindar. Tapi karena tidak sempat membuat perhitungan mapan, maka waktu Manggada memburunya dengan serangan berikutnya orang itu benar-benar mengalami kesulitan.

Karena tidak sempat lagi menghindari serangan itu, terpaksa ia menangkis dengan keduabelah tangannya, menahan kaki Manggada yang terjulur ke arah lambungnya.

Tetapi ternyata, kekuatan Manggada terlalu besar bagi orang itu. Karenanya, ketika terjadi benturan, orang itu tidak sanggup bertahan tegak di atas kedua kakinya. Demikian keseimbangan terguncang, ia pun jatuh terguling di tanah.

Semua orang yang menyaksikan, terkejut. Kawan Sura Gayam yang ditakuti itu, dalam sekali hentak, terlempar jatuh tanpa dapat berbuat sesuatu.

Meskipun dengan sigap orang itu meloncat bangkit, tapi kejadian itu telah mengguncang nyali anak-anak muda yang mengupahnya.

“Iblis kau” geram orang itu, ketika Manggada meloncat, menjauh, sekaligus menghindari serangan lawannya yang seorang lagi.

Sejenak kemudian, Manggada telah bertempur melawan kedua orang lawannya. Keduanya menyerang bergantian. Tapi kadang-kadang, mereka meloncat hampir berbareng. Sayang Manggada terlalu tangkas. Ia mampu bergerak lebih cepat dari lawan-lawannya, sehingga serangan-serangan yang datang beruntun itu dapat dielak-kannya.

Keempat anak muda yang datang berkuda itu, menjadi tegang. Meskipun mereka tidak memahami apa yang terjadi, tetapi mereka mengerti bahwa Sura Gayam mengalami kesulitan menghadapi lawannya yang masih sangat muda itu.

Karena itu, salah seorang diantara mereka berbisik Kita ambil gadis itu. Dengan demikian, kita dapat mengancam mereka untuk menghentikan perlawanan.“

Yang lain mengangguk-angguk. Seorang yang lain bergumam, “Orangtua itu tentu tidak setangkas anak-anak muda itu.“

“Ya. Kita akan mengambil anakitu” desis yang lain lagi.

Keempat orang itupun kemudian bersiap-siap. Namun ternyata Ki Wiradadi dapat membaca gelagat itu. Karenanya, ia segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Perlahan-lahan didorongnya anaknya melekat dinding di sudut halaman samping kedai itu.

“Orangtua tidak tahu diri” geram salah seorang dari anak-anak muda itu. Lalu katanya pula. “Serahkan gadismu, atau kedua orang anak laki-lakimu itu mati. Bahkan kau pun akan mati, sehingga gadismu akan kehilangan segala-galanya.”

Ki Wiradadi memang tersinggung mendengar kata-kata itu. Ia telah menempuh satu perjalanan yang sangat berbahaya yang dapat merenggut jiwanya, dan jiwa kedua anak muda itu. Kini, tiba-tiba saja ia menghadapi sekelompok anak muda yang tidak bertanggung jawab, ingin mengganggu anak gadis yang telah diselamatkannya dengan bertaruh nyawa.

Karena itu, ketika keempat anak muda itu akan mengambil anaknya dengan paksa, sementara Manggada dan Laksana baru bertempur melawan orang-orang upahannya. Ki Wiradadi tidak dapat mengekang diri lagi.

Demikian anak-anak muda itu bergerak, Ki Wiradadi menarik pedangnya. Bahkan dengan lantang ia berkata, “Aku tidak akan bermain-main seperti anak-anak muda itu. Kalian telah menghina anak gadisku, dan bahkan aku sendiri. Karena itu, aku tidak bertanggung jawab jika ada di antara kalian yang benar-benar mati. Aku dan anak gadisku bukan bahan olok-olok, setelah kami keluar dari garangnya orang-orang liar di balik hutan Jatimalang.“

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Jantung mereka tergetar mendengar kata-kata Ki Wiradadi. Apalagi kemudian melihat sikapnya yang garang. Tapi, ketika mereka memperhatikan anak gadis itu lagi, seorang di antara mereka berkata, “Kalian tidak akan dapat melawan kehendak kami.“

Tetapi keempat orang itu terkejut. Ki Wiradadi tidak menjawab, langsung mengayunkan pedangnya sambil berkata, “Marilah. Siapakah yang akan mati lebih dulu.“

Keempat anak muda itu bergeser mundur. Kemudian mulai menggenggam senjatanya. Sambil memencar, mereka memutar senjata masing-masing.

Ki Wiradadi tidak memburu mereka. Ia tidak boleh terlalu jauh dari anak gadisnya. Jika seorang saja di antara anak-anak muda itu mampu menembus pertahanannya, dan mengancam anaknya, dia akan kehilangan kesempatan untuk melawan. Bahkan kedua anak muda yang diaku sebagai anaknya pun, harus menghentikan pertempuran.

Untuk beberapa saat, Ki Wiradadi menjadi sangat tegang. Ia memang yakin akan dapat mengalahkan keempat orang itu. tapi setiap kali ia mengingat kemungkinan licik yang dapat mereka lakukan, jantungnya selalu tersekat.

Namun dalam pada itu, karena perhatian anak-anak muda itu tertuju sepenuhnya kepada Ki Wiradadi maka mereka tidak tahu apa yang terjadi pada orang-orang upahan mereka.

Sebenarnyalah bahwa Laksana menjadi kecewa. Orang yang disebut Sura Gayam tidak dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuannya, setelah ia meningkatkan ilmunya. Orang itu termasuk orang yang terlalu lemah untuk membuat perbandingan ilmu.

Karena itu, akhirnya Laksana cepat menjadi jemu. Sementara Manggada sudah menduga, bahwa ia tidak akan mendapat pengalaman apapun dari orang-orang itu. Karena itu, dalam waktu singkat, ia telah membuat kedua lawannya tidak berdaya.

Dengan demikian, kedua anak muda itu telah menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Sura Gayam yang ditakuti itu telah pingsan karena sisi telapak tangan Laksana

Itulah sebabnya, Ki Wiradadi yang tegang sempat menarik nafas panjang, ketika melihat kedua orang anak muda itu mendekatinya. Sementara empat anak muda yang mengganggu gadis Ki Wiradadi, membelakangi mereka.

Seorang di antara mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Laksana menggamit pundak. Demikian ia berpaling, maka ia pun bergeser surut. Dengan sigap ia menggerakkan senjatanya, tapi kaki Laksana bergerak lebih cepat mengenai pergelangan tangannya, sehingga senjatanya terloncat jatuh.

Sebelum ia menyadari keadaannya, Laksana telah memukul anak muda itu, tepat mengenai mulutnya. Demikian kerasnya, sehingga beberapa buah gigi anak muda itu terlepas.

Anak muda itu memang menjadi kebingungan. Dengan sangat cemas, ia berusaha minta kawan-kawannya menolong-nya. Tetapi Manggada telah membentak, “Semuanya tinggal di tempat.“

Tidak seorang pun berani bergerak. Karenanya, anak muda yang berdarah itu menjadi semakin bingung. Dengan lengan bajunya, ia mengusap darah yang rasa-rasanya semakin banyak mengalir.

Sementara itu, terdengar suara Manggada, “Minta maaf kepada orang tua itu, atau gigi kalian semua akan aku lepaskan.“

“Jangan” sahut seorang di antara anak-anak muda itu ketakutan.

“Karena itu, cepat lakukan” bentak Manggada. “Lihat. Sura Gayam tidak berarti apa-apa. Sebagai orang upahan, ia telah melakukan pekerjaan yang sangat kotor. Ia tidak peduli akibat dari perbuatannya. Yang penting baginya, ia mendapat upah dengan langkah-langkah kotornya itu. Mereka harus mendapat hukuman jauh lebih berat dari orang-orang yang melakukan-nya bagi diri sendiri.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat berbuat lain kecuali melakukannya. Anak-anak muda itu pun berurutan melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Manggada dan Laksana.

“Aku mohon maaf Kiai” berkata anak muda yang tertua di antara mereka.

“Aku juga Kiai” desis yang lain.

“Juga apa?” bentak Laksana.

Anak muda itu terkejut. Katanya, “Aku juga minta maaf” berkata anak muda itu.

Demikianlah, keempat anak muda itu minta maaf. Sementara itu, Sura Gayam telah sadar dari pingsannya. Tapi begitu dia bangkit, ia segera teringat apa yang telah terjadi. La pun segera menyadari bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu, betapa pun dendam membara di ubun-ubunnya. Apalagi ia sadar bahwa ada beberapa orang yang telah melihatnya.

Tetapi demikian ia bangkit, maka salah seorang di antara kedua orang anak muda itu melangkah mendekatinya dan berkata dengan nada rendah, “Kau tidak apa-apa Ki Sanak?”

“Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa” geram Sura Gayam, “bukankah kau telah membuat aku pingsan?”

Laksana tersenyum. Katanya, “Ya. Aku telah membuatmu pingsan, tapi aku belum membuatmu mati.“

Sura Gayam tergetar jantungnya mendengar kata-kata itu. Sementara Laksana berkata, “Ki Sanak. Apakah kau , merasa bahwa hidupmu cukup baik dengan cara itu?”

Sura Gayam termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud Laksana. Laksana kemudian menegaskan, “Sebentar lagi kami akan meninggalkan tempat ini Ki Sanak. Tetapi dalam waktu dekat, kami akan kembali. Kami mempunyai persoalan khusus dengan kau dan kawan-kawanmu. Rumah kami tidak terlalu jauh dari tempat ini. Sayang, baru sekarang kami tahu, bahwa di sini ada sekelompok orang yang memanfaatkan kesulitan orang lain untuk mendapatkan nafkah bagi hidupnya.“

“Kau tidak usah ikut campur” jawab Sura Gayam.

Ketika Laksana maju selangkah, Sura Gayam tiba-tiba saja menyadari bahwa anak muda itu dapat berbuat kasar kepadanya. Karena itu, ia pun berkata, “Maksudku, aku tidak mempunyai pilihan lain Ki Sanak.“

“Jangan bohong” berkata Laksana, “tetapi terserah kepadamu. Kami akan kembali lagi ketempat ini, seperti yang aku katakan. Jika kami masih menjumpaimu melakukan cara ini, maka kau tidak hanya akan menjadi pingsan, tapi kau akan mati. Bersiaplah dengan kawan sebanyak-banyaknya, karena kami pun akan datang dengan kawan-kawan kami.“

Demikianlah, maka Ki Wiradadi pun memberikan beberapa petunjuk kepada anak-anak muda yang telah berlaku kasar kepada anak-anaknya. Namun Ki Wiradadi sadar, bahwa dengan petunjuk-petunjuk seperti yang diberikan, anak-anak muda itu tidak akan mudah untuk menyadari kesalahannya. Karena itu, Ki Wiradadi pun berkata, “Aku akan membawa anak gadisku pulang. Pada kesempatan lain, aku akan datang menemui orang tua kalian.“

Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun Ki Wiradadi tidak menghiraukannya lagi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Wiradadi telah membawa anak gadisnya meninggalkan tempat itu. Manggada dan Laksana masih juga menyertainya. Bagaimanapun juga, keduanya masih mencemaskan kemungkinan buruk terjadi atas gadis itu.

Namun pengalaman yang telah memperkaya perbendaharaan hidup Manggada dan Laksana itu, sangat berkesan di hati keduanya. Sejak keduanya keluar dari lingkungan sempit, maka seakan-akan mereka telah berdiri di hadapan cakrawala yang digelar luas. Keduanya sempat menatap kehidupan ini sebagai medan perburuan yang sangat bengis.

Ketiga orang yang menyertai gadis yang hampir saja menjadi korban dari satu kepercayaan yang hitam itu, ternyata masih juga di cemaskan oleh seekor burung yang terbang di atas mereka ketika mereka berjalan dibulak panjang. Berputar-putar seakan-akan memperhatikan langkah-langkah mereka dengan seksama. Seekor burung elang.

Mereka segera teringat beberapa ekor burung yang beterbangan di atas pondok Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandi yang bongkokitu. Burung-burung yang ternyata adalah milik Panembahan yang berhati kelam itu.

Semula kedua anak muda itu sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka akan menjumpai satu gambaran dari kehidupan yang buram. Tentang sifat-sifat sesamanya yang tidak segera dapat dimengerti. Bahkan ada anak-anak muda yang dengan kasar ingin merampas seorang gadis dari orang tuanya, sebagai barang mainan.

Mamun semuanya telah terlampaui. Yang tinggal adalah satu pengalaman menarik. Pengenalan atas kehidupan yang lebih luas dari sebuah padepokan.

Kedua anak muda yang mengawani Ki Wiradadi membawa pulang anaknya itu merasa bahwa pengenalannya atas kehidupan ini terlalu sempit. Masih banyak sekali yang belum mereka lihat. Karena itu, didalam hati kedua anak muda itu tumbuh satu keinginan untuk melihat dan mendengar semakin banyak.

Karena itulah, ketika mereka sampai di rumah Ki Wiradadi, Laksana berdesis, “Kakang, apakah kita akan segera kembali ke rumah paman, setelah kita meninggalkan rumah Ki Wiradadi?

“Apa maksudmu?” bertanya Manggada.

“Selagi kita mempunyai kesempatan, bagaimana jika kita melihat-lihat dunia ini lebih dulu?” berkata Laksana.

Sebenarnyalah bahwa Manggada pun sependapat. Tetapi ia masih juga bertanya, “Bagaimana jika paman lebih dulu sampai kerumah ayah, sehingga ia akan menjadi sangat cemas, karena kita berdua belum sampai.“

“Ah, ayah tentu mengenal keinginan anak-anak muda” berkata Laksana, “ayah pun tentu membenarkan niat kita menyadap pengalaman sebanyak-banyaknya.“

Manggada menarik nafas dalam-dalam, ia masih merasa ngeri jika mengingat apa yang pernah dijumpainya di balik hutan Jatimalang. Keberaniannya waktu itu. sebagian, dilandasi oleh ketidaktahuannya atas apa yang akan dihadapinya, sebagaimana juga Laksana.

Namun kedua anak muda itu selalu mengucap syukur didalam hati, bahwa Yang Maha Agung masih melindungi mereka, sehingga berhasil ikut membebaskan gadis Ki Wiradadi.

Ternyata bahwa Manggada tidak berkeberatan melaku kannya. Namun katanya, “Aku setuju Laksana Tetapi hal itu kita lakukan sambil menempuh perjalanan pulang. Sebenarnyalah aku ingin untuk segera menghadap ayah, dan menyampaikan hasil jerih payahku selama berguru bersamamu di tempatmu.“

“Baiklah” berkata Laksana, “kita melihat-lihat di sepanjang perjalanan pulang.“

Sebenarnyalah ketika kedua anak muda itu sudah yakin bahwa Ki Wiradadi selamat sampai ke rumahnya, maka keduanya pun minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

Ternyata Ki Wiradadi terkejut mendengarnya. Dengan serta merta Ki Wiradadi bertanya, “Jadi kalian tidak tinggal di rumahku barang satu dua pekan?”

Manggada tersenyum. Katanya, “Maaf Ki Wiradadi. Kami berdua harus segera pulang agar orang tua kami tidak menjadi cemas tentang kami.“

“Tetapi kenapa begitu tergesa-gesa. Seluruh keluarga kami harus mengucapkan terima kasih lebih dahulu kepada kalian berdua, yang telah membebaskan anak gadis kami dari maut yang mengerikan itu.” berkata Ki Wiradadi.

“Bukan aku dan bukan adikku” jawab Manggada, “justru kami hanya ikut-ikutan saja, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kami hadapi.“

“Apapun yang kalian lakukan, tetapi kalian telah melakukan satu langkah yang sangat berarti bagi keluarga kami. Tanpa kalian berdua, yang terjadi tentu jauh berbeda dari apa yang sekarang terjadi.” berkata Ki Wiradadi.

“Yang Maha Agunglah Maha Penentu.” berkata Manggada.

Ki Wiradadi mengangguk. Kemudian ia berkata, “Tetapi bagaimanapun juga, kami akan menahan kalian berdua untuk setidak-tidaknya sepekan di sini.“

Tetapi Manggada dan Laksana ternyata tidak merasa perlu lagi untuk berlama-lama Berada, di rumah Ki Wiradadi. Dengan nada rendah, Manggada berkata, “Kami mengucapkan terima kasih Ki Wiradadi. Tetapi kami terpaksa mohon diri.“

“Jangan sekarang” cegah Ki Wiradadi. Manggada lan Laksana memang tidak dapat memaksa.

Mereka harus menunda keberangkatan mereka. Tetapi Manggada dan Laksana hanya bersedia tinggal untuk satu malam.

Ki Wiradadi mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyatakan terima kasihnya kepada Manggada dan Laksana. Seluruh keluarga Ki Wiradadi yang dapat, dan sempat dipanggilnya, datang menemui kedua orang anak muda itu.

Bahkan salah seorang di antara keluarga Ki Wiradadi itu sempat berdesis, “Sayang sekali. Jika saja salah seorang dari keduanya kau ambil menantu.“

Ki Wiradadi tertawa. Katanya, “Keduanya sedang berkembang. Nampaknya keduanya masih lebih senang melihat-lihat dan mengenali lingkungan kehidupan ini. Tidak ada seorang pun yang mampu mengikat mereka sekarang. Entahlah jika beberapa tahun lagi keduanya tersesat kerumah kita.“

Keluarga Ki Wiradadi itu menarik bafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berkata, “Bukankah kau belum mencoba mengatakannya?“

“Aku sudah bersama-sama mereka untuk beberapa hari” jawab Ki Wiradadi, “aku sudah mengenal keduanya cukup baik. Sifat-sifat mereka dan tingkah laku mereka.“

Keluarganya itu hanya dapat mengangguk-angguk. Namun ia masih juga berkata, “Aku berdoa.“

Ki Wiradadi berdesis, “terima kasih. Tetapi keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa yang kita lakukan itu dapat menimbulkan pengertian lain, sebagaimana yang timbul dalam pikiranmu. Demikian juga anak gadisku.“

“Ah kau” geram salah seorang diantara keluarganya itu, “apakah yang kau katakan sama dengan yang kau pikirkan?”

“Sudahlah” potong Ki Wiradadi.

Demikianlah, dDi hari berikutnya, Manggada dan Laksana benar-benar minta diri. Menurut pengamatan Ki Wiradajdi, memang tidak ada kesan apa-apa pada kedua anak muda itu ketika keduanya minta diri kepada anak gadisnya, yang telah dibebaskannya dari tangan Panembahan Lebdagati.

Keluarga Ki Wiradadi hanya dapat memandangi kedua orang anak muda itu melangkah, meninggalkan regol rumah mereka. Dua orang anak muda yang sedang mencari bentuk bagi dirinya sendiri.

Manggada dan Laksana memang masih juga berpaling. Tetapi mereka hanya mengangkat tangan, tanpa kesan apapun.

Sementara itu, anak gadis Ki Wiradadi merasakan ada sentuhan pada perpisahan itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengenali kedua anak muda itu, untuk membuat hubungan yang lain dari sekadar hubungan biasa.

Beberapa saat kemudian, Manggada dan Laksana menjadi semakin jauh dari tempat tinggal Ki Wiradadi. Mereka telah memasuki bulak panjang yang nampak hijau, karena batang-batang padi yang tumbuh dengan subur. Parit yang nampaknya selalu mengalir dengan deras, serta bening, nampaknya selalu membasahi kotak-kotak sawah di bulakitu.

Kedua anak muda itu merasa betapa segarnya udara di pagi hari. Angin berhembus perlahan-lahan dipanas matahari pagi.

Namun kedua anak muda yang masih belum sempat mengetahui perkembangan ilmu mereka itu. bersepakat untuk berhenti sejenak. Mereka turun ke sebuah sungai, dan mencari tempat yang sepi.

“Sejak kemarin, kita belum sempat berlatih” berkata Laksana.

“Kita juga belum sempat mengetahui pengaruh tuntunan laku yang diberikan oleh Ki Ajar, sebelum kita meninggalkan tempatnya yang tersembunyi itu.” sahut Manggada.

“Kita mendapat kesempatan sekarang” berkata Laksana pula.

Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Sura Gayam dan kawan-kawannya ternyata tidak dapat membantu kita.“

“Ya. Tetapi nampaknya Sura Gayam dan kawan-kawannya benar-benar menjadi jera.” jawab Laksana.

Demikianlah. Selagi masih pagi, kedua anak muda itu telah menyempatkan diri melakukan latihan di tempat yang sepi, dan jarang sekali dikunjungi orang itu.

Ternyata, ketika keringat kedua anak muda itu mulai mengalir, terasa di dalam diri mereka sesuatu yang berkembang. Ketika keduanya saling berloncatan menyerang, mereka merasa bahwa tenaga cadangan mereka telah meningkat semakin tinggi. Jika terjadi benturan, rasa-rasanya terjadi hentakan angin yang menggetarkan udara di sekitar mereka.

Kedua anak muda itu-mulai meneliti kemungkinan-kemungkinan lain di dalam diri mereka. Mereka telah mencoba mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga cadangan mereka, sehingga mereka dapat mengenali landasan kekuatan mereka sendiri.

Ternyata kekuatan mereka bukan saja meningkat, tepi juga membuat daya tahan mereka menjadi semakin tinggi. Setelah beberapa lama berlatih, kekuatan mereka sama sekali belum terpengaruh, sehingga tanpa berjanji keduanya telah berlatih terus.

Keduanya tidak merasa bahwa matahari telah menjadi semakin tinggi. Keringat telah terperas dari tubuh mereka, namun keduanya masih berlatih dengan cepat dan keras sampai matahari mencapai puncak langit.

Akhirnya, Manggada bertanya, “Apakah kita akan berlatih sampai senja?”

Laksana mengerti maksud saudaranya itu. Karenanya, ia meloncat surut untuk mengambil jarak.

Kedua anak muda itu kemudian berhenti berlatih, sambil menilai apa yang telah mereka lakukan, sehingga mereka bisa mengambil kesimpulan bahwa kemampuan mereka memang sudah meningkat. Meskipun peningkatan itu tidak terjadi pada ilmunya, tapi pada landasan kekuatannya yang memberikan arti tersendiri.

Demikianlah, dengan kesabaran tentang peningkatan kemampuan mereka, keduanya melanjutkan perjalanan untuk menemukan bentuk bagi diri mereka, serta arti dari hidup mereka, sebelum mereka menginjakkan kaki mereka di plataran rumah.

Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Laksana berkata, “Seandainya saja.“

Manggada berpaling kepadanya sambil bertanya, “Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”

Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Tidak. Tidak apa-apa.“

“Ah. Kau tentu akan mengatakan sesuatu” desis Manggada, “tetapi jika aku satu-satunya kawanmu di perjalanan ini tidak boleh mendengar, apaboleh buat.“

“Jangan merajuk” desis Laksana sambil tersenyum.

“Untuk apa aku merajuk? Tetapi untuk selanjutnya, persoalan diantara kita akan menjadi tertutup, karena aku pun tidak akan mengatakan apa-apa kepadamu” jawab Manggada.

“Jangan begitu” desis Laksana kemudian, “sebenarnya, aku hampir saja mengatakan satu hal yang tentu tidak kau setujui”

“Kenapa?” bertanya Manggada.

“Sebenarnya aku ingin bertemu dengan seseorang atau sekelompok orang yang dapat membantu kita untuk menjajagi kemampuan kita” berkata Laksana dengan ragu-ragu.

“Ketika kita meninggalkan rumah ayahmu, maka kau pun berniat seperti itu. Tetapi aku selalu teringat pesan paman, ayahmu, bahwa seharusnya kita tidak perlu melakukan hal itu. Kita tidak usah mencoba kemampuan kita dengan cara seperti itu.” sahut Manggada sambil memandang kekejauhan.

“Akupun ingat pula. Karena itu, maka niatku untuk mengatakan hal itu aku urungkan. Tetapi kau memaksaku untuk mengatakan” desis Laksana hampir tidak terdengar.

“Sudahlah” berkata Manggada kemudian, “kita akan meneruskan perjalanan. Nampaknya kita tidak menempuh jalan terdekat ke Pajang. Tetapi tidak mengapa.“

Keduanya telah melangkah terus meskipun mereka tahu, bahwa mereka tidak sedang mendekati Pajang. Tetapi nampaknya kedua orang anak muda itu masih ingin melihat-lihat, apa yang tersembunyi di balik cakrawala. Namun langkah mereka ternyata tidak akan pernah sampai kekaki langit itu.

Demikianlah keduanya berjalan terus. Menjelang senja mereka masih menemukan sebuah kedai yang hampir menutup pintunya. Tetapi pemilik kedai itu masih menerima keduanya.

“Tetapi sudah tidak lengkap lagi” berkata pemilik kedai itif, “tinggal nasi dengan sayur asam.“

“Apa saja” jawab Manggada, “asal kami tidak kelaparan.“

Untuk beberapa lama keduanya berada di kedai itu. Namun sebelum gelap mereka telah meninggalkan kedai itu menuju kepadukuhan yang terdekat.

“Kita akan minta ijin untuk bermalam di banjar” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan tidak ada persoalan apapun di padukuhan itu.“

Manggada tersenyum. Nampaknya Laksana ingin menunjukkan bahwa ia tidak ingin mencoba kemampuannya setelah kemampuan mereka meningkat. Namun Manggada tidak menjawab.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah memasuki padukuhan itu pada saat malam mulai turun.

Namun keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang anak muda berada di banjar. Beberapa lampu minyak menyala di pendapa banjar, sementara beberapa buah oncor jarak menyala di regol dan halaman.

“Apa pula yang terjadi” desis Manggada, “nampaknya ada sesuatu yang terjadi di padukuhan ini. Karena itu, kita urung kan saja niat kita untuk bermalam di banjar.“

“Lalu kita akari bermalam di mana?” bertanya Laksana.

“Di banjar padukuhan berikutnya” jawab Manggada.

“Nanti terlalu malam. Kita justru dapat dicurigai” jawab Laksana. Lalu katanya, “apapun yang terjadi, sebaiknya kita mencoba untuk minta ijin bermalam di banjar.“

Manggada tersenyum pula. Katanya, “Bukankah kau ingin tidak menjumpai persoalan apapun juga.“

“Ah, kau” sahut Laksana. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Ia tahu bahwa Manggada sedang mengganggunya.

Namun demikian, akhirnya keduanya juga singgah di banjar itu. Dipintu gerbang halaman banjar, seorang anak muda menemuinya dan bertanya, “Siapa yang kalian cari?”

“Kami ingin minta ijin untuk bermalam Ki Sanak.“

“Siapakah kalian?” bertanya anak muda itu.

“Namaku Manggada. Ini adikku. Laksana” jawab Manggada.

“Tunggulah disini.” berkata anak muda itu, “tetapi kalian ini sedang dalam perjalanan dari mana ke mana?”

“Kami sedang menuju ke Pajang” jawab Manggada. Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya pula, ”Tunggulah sebentar. Aku akan bertanya kepada Ki Bekel yang juga ada di banjar ini sekarang.“

“Nampaknya ada kesibukan di banjar ini?” bertanya Laksana.

“Ya, Ki Bekel dan para bebahu sedang gelisah. Seorang gadis telah hilang.” jawab anak muda itu.

“Seorang gadis telah hilang?” ulang Manggada dan Laksana hampir berbareng.

“Ya” jawab anak muda ini.

“Kapan hal itu terjadi?” tanya Manggada.

“Kemarin.” jawab anak muda itu.

“Baru kemarin?” bertanya Laksana.

“Ya, kenapa? Apakah kau mengetahui tentang gadis yang hilang?” bertanya anak muda itu.

“Ki Sanak, apakah aku diperkenankan bertemu dengan Ki Bekel untuk memberikan sedikit keterangan tentang gadis-gadis yang hilang?” bertanya Manggada.

Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah. Jika Ki Bekel tidak berkeberatan.“

Keduanya pun kemudian Lelah dibawa ke halaman banjar. Beberapa orang anak muda yang ada dipintu banjar memandangi Manggada dan Laksana dengan heran. Seorang diantara mereka bertanya kepada anak muda yang membawa keduanya masuk, “Siapakah mereka dan untuk apa mereka datang ke banjar? Bukankah keduanya bukan anak muda dari padukuhan ini?”

“Mereka ingin bertemu dengan Ki Bekel” jawab anak muda itu.

Memang tidak ada yang bertanya lagi. Manggada dan Laksana langsung dibawa menghadap Ki Bekel yang duduk di pendapa banjar yang banyak didatangi oleh anak-anak muda padukuhan itu.

Ki Bekel memang agak heran melihat kedua orang anak muda itu.. Dengan serta merta ia bertanya, “Siapa kalian? Dan apakah keperluan kalian?

“Kami dua orang bersaudara yang menempuh perja lanan ke Pajang, Ki Bekel. Ketika diregol kami mendengar bahwa ada seorang gadis yang hilang, maka kami ingin ikut membicarakannya.” jawab Manggada.

“Apakah ada hubunganmu dengan gadis yang hilang?” bertanya Ki Bekel.

“Kami baru saja membebaskan seorang gadis yang hilang dari belakang hutan Jatimalang.” berkata Manggada, “tetapi menurut pengetahuan kami, sekelompok orang-orang sesat di belakang hutan Jatimalang itu sudah kami hancurkan bersama dengan sekelompok prajurit yang didahului dengan bantuan seorang pertapa yang memiliki ilmu yang tinggi.“

Ki Bekel menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Ada apa dibelakang hutan Jatimalang.“

Dengan singkat Manggada menceriterakan apa yang terjadi di hutan Jatimalang, hingga seorang gadis yang hampir menjadi korban dapat diselamatkan.

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Katanya, “Apakah mungkin gadis yang hilang itu juga telah dibawa ke hutan Jatimalang?”

“Sepengetahuan kami orang-orang sesat di Jatimalang itu telah tidak berarti lagi. Tetapi pemimpinnya, memang masih belum tertangkap.” berkata Manggada.

“Apakah pemimpinnya itu bergerak sendiri meskipun anak buahnya sudha tidak ada lagi?” desis Ki Bekel.

“Aku kira tidak, karena jika sekali korban itu lewat saat bulan purnama, maka segalanya harus diulangi lagi.” jawab Manggada meskipun ia mulai menjadi ragu-ragu.

“Bagaimana jika pemimpin dari kelompok beraliran sesat itu mulai lagi dari gadis yang pertama” berkata Ki Bekel.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah Ki Bekel sudah minta keterangan dari orang-orang yang agaknya terkait dengan hilangnya gadis itu. Orang tuanya, kawan-kawannya atau orang lain yang selalu berhubungan dengan gadis itu?”

“Secara mendalam belum” jawab Ki Bekel.

“Apakah Ki Bekel berkenan untuk membawa kami menemui orang tua gadis itu?” bertanya Manggada pula.

Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Beberapa orang bebahupun nampak ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Bekel berkata, “Marilah. Kita akan menemui orang tua gadis yang hilang itu.“

Sejenak kemudian, bersama Ki Bekel dan dua orang bebahu kedua orang anak muda itu telah pergi kerumah orang tua gadis yang hilang itu.

Suasana rumah itu rasa-rasanya seperti sedang berkabung karena kematian. Beberapa orang duduk dengan wajah yang buram. Sementara ibu dari gadis yang hilang itu masih saja menangis. Suaminya yang mempersilahkan Ki Bekel masuk, setiap kata yang setelah Ki Bekel memperkenalkan kedua orang pengembara itu serta sedikit pengalamannya, maka iapun bertanya kepada kedua orang tua gadis itu, “Apakah ada seseorang yang kalian curigai? Atau mungkin sebuah dugaan?”

“Tidak Ki Bekel.” jawab ayahnya dengan suara sendat.

“Tetapi…………………………..” isterinya masih terisak.

Namun suaminya segera memotongnya, “Sudahlah. Kau jangan membuat persoalan ini semakin rumit.“

“Aku hanya ingin mengatakan bahwa Ki Sudagar Resakanti malam ini akan datang kemari.” berkata isterinya di sela isaknya yang tidak berkeputusan.

“Apa hubunganmu dengan Ki Sudagar Resakanti?” bertanya Ki Bekel dengan dahi berkerut.

“Anak gadisku yang hilang itu sudah terlanjur dipertunangkan dengan anak laki-laki Ki Sudagar. Ia tentu akan menjadi sangat marah jika anakku itu tidak dapat diketemukan.“

“Kenapa ia menjadi marah. Seharusnya ia menjadi berprihatin seperti kalian. Seandainya ia kehilangan calon menantunya, bukankah kalian justru kehilangan anak kalian?” sahut Ki Bekel.

“Seharusnya demikian Ki Bekel” desis ibu gadis yang hilang itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi ia mencurigai kami, seolah-olah kami telah menyembunyikan nya.“

“Tetapi masih belum tentu Ki Bekel” sahut suaminya, “kami belum bertemu dengan Ki Sudagar Resakanti. Yang kami dengar baru dugaan orang yang datang atas suruhannya menanyakan kebenaran berita bahwa anakku telah hilang.“

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan menunggunya disini. Aku ingin menjadi saksi pembicaraan kalian. Kedua orang anak muda ini akan dapat memberikan beberapa keterangan agar kalian tidak dituduh menyembunyikan anak gadismu sendiri.“

“Tetapi apakah dengan demikian Ki Sudagar Resakanti tidak akan semakin marah kepada kami?” bertanya .ayah gadis yang hilang.

“Ia tahu siapa aku” jawab Ki Bekel.

Kedua orang tua gadis yang hilang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ibu gadis itu berkata, “Tidak. gadisku tidak akan dibawa ke hutan Jatimalang.“

“Kami tidak mengatakan demikian. Nyi” sahut Ki Bekel, “yang dibawa ke hutan Jatimalang itu bukan anakmu.“

“Tetapi bagaimana dengan anakku” tangisnya.

“Kami akan membantu mencarinya. Nyi” desis Manggada hampir diluar sadarnya.

Namun sebelum tangis perempuan itu mereda, terdengar suara beberapa orang mendekat. Ternyata orang itu adalah Ki Sudagar Resa kanti dan tiga orang pengiringnya. Laki-laki yang berwajah garang dan bertubuh tinggi dan besar.

Kedua orang tua gadis itu memang menjadi ketakutan. Ketika Ki Sudagar itu masuk dan melihat Ki Bekel ada di-situ, maka iapun segera bertanya, “He, untuk apa Ki Bekel ada disini?”

“Aku ingin menjadi saksi atas persoalan yang sedang kalian hadapi. Aku juga membawa dua orang anak muda yang mempunyai pengalaman yang menarik tentang hutan Jatimalang yang sering menelan gadis-gadis.“

“Apa hubungannya antara gadis yang hilang itu dengan kedua orang anak muda yang tidak aku kenal itu?” bertanya Ki Sudagar Resakanti dengan kerut di kening.

“Silahkan duduk, aku ingin berceritera serba sedikit” berkata Ki Bekel.

Meskipun wajahnya nampak menegang, namun Ki Sudagar itupun duduk diamben yang besar diruang dalam rumah yang tidak begitu besar itu. Ki Bekel pun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang hutan Jatimalang sebagaimana diceriterakan oleh Manggada dan Laksana.

“Omong kosong” Ki Sudagar itu hampir berteriak, “ternyata dirumah ini telah berkumpul sekelompok orang yang ingin menipuku. Tetapi aku bukan orang dungu.“

“Jadi kau tuduh aku juga menipu?” bertanya Ki Bekel.

“Ya. Aku tahu Ki Bekel merasa iri, karena sebenarnya gadis yang hilang itu akan Ki Bekel ambil sebagai menantu Ki Bekel sendiri” jawab Ki Sudagar Resakanti.

“Kau jangan mengada-ada Ki Sudagar. Aku datang untuk membantu memecahkan persoalan ini. Jika Ki Sudagar menuduh yang bukan-bukan, aku dapat saja mencuci tangan.” Ki Bekelpun menggeram marah.

Namun Ki Sudagar itu kemudian menjawab, “Aku tahu, kedua orang tuanya memang licik. Mereka mau menerima mas kawin yang jumlahnya tidak sedikit. Aku telah memperbaiki rumah ini pula. Tetapi kemudian anaknya disuruhnya melarikan diri dengan seorang laki-laki karena anaknya tidak mau kawin dengan anakku Janjinya bahwa segala sesuatu ada ditangannya ternyata sebuah tipuan saja.“

“Kenapa kau menganggap bahwa kau telah tertipu? bertanya Ki Bekel.

“Seseorang melihat sebuah pedati membawa seorang perempuan menjauhi padukuhan ini. Ketika orangku pulang berkuda dari satu urusan dagang, maka diperjalanan itu ia bertemu dengan sebuah pedati yang berisi tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Semula orangku itu tidak mengira bahwa perempuan yang ada dalam pedati itu adalah bakal menantuku. Namun ketika ia tahu bahwa calon menantuku itu hilang, maka harulah ia mencoba mengingat-ingat tentang perempuan sang dibawa dalam pedati itu.“

“Dibawa dalam pedati?” bertanya Manggada tiba-tiba.

“Untuk apa kau bertanya, jika ikut menyiapkan pelariannya?” bentak Ki Sudagar.

“Tetapi aku masih ingin bertanya sekali lagi” sela Manggada, “dibawa kearah mana?”

“Kearah Gunung Lawu” jawab Ki Sudagar. Tanpa sesadarnya” tetapi Gunung Lawu itu masih jauh sekali. Hanya arahnya saja.“

Wajah Manggada dan Laksana menjadi tegang. Sementara itu, Ki Sudagar berkata, “Kalian tidak usah berpura-pura terkejut.“

Tiba-tiba Manggada berdesis, “Hutan Jatimalang terletak di kaki Gunung Lawu, Ki Bekel. Kita harus menyusul mereka.“

“Nanti dulu anak muda” berkata Ki Bekel, “aku hargai sikap kalian. Kalian bersungguh-sungguh dan aku nilai kalian jujur. Tetapi sebelumnya aku akan bertanya kepada Ki Sudagar, apakah Ki Sudagar mencurigai seseorang?”

“Ya.” jawab Ki Sudagar, “aku memang mencurigai seseorang. Seseorang yang akrab dengan anak gadismu.“

“Anakku tidak mempunyai kawan siapa-siapa. Anak gadisku jarang sekali keluar rumah” jawab ibu gadis yang hilang itu.

“Kau tidak usah berbohong” bentak Ki Sudagar, “aku mempunyai mata lebih dari seribu pasang.“

“Jika demikian siapa? Anak laki-lakiku?” bertanya Ki Bekel dengan nada tinggi.

“Persetan dengan anakmu. Yang aku curigai adalah anak Winduwara yang tinggal disudut padukuhan itu. Dijualnya anak itu kepadaku, tetapi kemudian anak itu dijualnya pula kepada orang lain. Kepada Winduwara. Berapa Winduwara membelinya sehingga anaknya diberikan kepada Winduwara, tidak kepadaku.“

Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Manggada dan Laksana, “Anak-anak muda. Bukan aku tidak percaya kepada kalian tentang peristiwa dibelakang hutan Jatimalang itu. Tetapi aku ingin mendengar keterangan Winduwara lebih dahulu. Apakah anaknya ada di-rumah atau tidak.“

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Manggada menjawab, “Baiklah Ki Bekel. Aku kira itu adalah jalan yang terbaik.“

“Kita sekarang pergi ke rumah Winduwara” berkata Ki Bekel.

“Aku ikut bersama kalian” berkata Ki Sudagar Resakanti, “aku tidak mau menjadi bahan permainan kalian.“

Ki Bekel tidak berkeberatan. Karena itu, maka bersama kedua bebahu yang mengiringinya, Manggada dan laksana, kedua orang tua gadis yang hilang itu, serta Ki Sudagar dan pengiringnya, mereka telah pergi kerumah Winduwara.

Kehadiran sekelompok orang bersama Ki Bekel itu memang mengejutkan seisi rumah Ki Winduwara. Bahkan Nyi Winduwara menjadi gemetar dan selalu berpegangan kepada suaminya.

Sebelum Ki Bekel mengatakan sesuatu, Ki Sudagar Resakanti telah mendahuluinya membentak demikian pintu dibuka, “Dimana anakmu, he? Apakah ia ada dirumah atau tidak?”

“Biarlah aku yang berbicara” potong Ki Bekel kemudian.

“Tetapi aku yang berkepentingan langsung” jawab Ki Sudagar Resakanti dengan wajah yang menjadi merah.

“Aku Bekel disini” bentak Ki Bekel, “atau aku sama sekali tidak ikut campur? Tetapi setiap orang yang bertindak sendiri, maka ia akan berurusan dengan aku. Aku tidak peduli siapa saja.“

Telinga Ki Sudagar menjadi panas. Ketiga orang pengiringnya pun telah bergeser mendekati Ki Sudagar. Namun Ki Sudagar masih harus berpikir ulang untuk berani menentang pimpinan padukuhan yang sedang marah itu.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Terserah kepada Ki Bekel. Tetapi aku minta keputusan yang paling adil.“

Dalam pada itu Ki Winduwara pun bertanya kepada Ki Bekel, “Apa yang telah terjadi Ki Bekel? Nampaknya ada persoalan yang sangat penting.“

“Apakah kau mendengar bahwa ada seorang gadis yang hilang dari rumahnya?” bertanya Ki Bekel.

“Ya Ki Bekel. Seisi padukuhan ini mengetahuinya. Akupun tahu bahwa anak-anak muda sibuk berjaga-jaga” jawab Winduwara.

“Nah, dimana anakmu sekarang? Apakah ia turut berjaga-jaga atau tidak?” bertanya Ki Bekel pula.

Wajah Ki Winduwara menegang. Katanya, “Sejak kemarin anakku pergi kerumah pamannya. Ia tidak tahu bahwa ada gadis yang hilang. Ketika ia pergi, berita tentang gadis yang hilang itu belum didengarnya.“

“Nah, bukankah Ki Bekel yakin?” bertanya Ki Sudagar.

“Yakin tentang apa?” bertanya Ki Winduwara.

“Jangan berpura-pura. Aku tahu pasti hubungan anakmu dengan gadis yang hilang itu” geram Ki Sudagar Resakanti.

“Pak” desis Nyi Winduwara yang ketakutan.

“Tenanglah Nyi.” desis Ki Winduwara, “aku juga tidak tahu yang dimaksud. Tetapi segala sesuatunya tentu dapat dibicarakan dengan baik. Apalagi Ki Bekel ada di sini.“

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau tahu alasannya, kenapa anakmu pergi?”

“Tidak ada alasan apa-apa Ki Bekel. Sudah lama ia tidak menengok pamannya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi melihat keadaan pamannya itu. Tidak ada alasan lain.“

“Ia tentu tidak akan mengaku, Ki Bekel” geram Ki Sudagar.

Namun Manggada tiba-tiba memotong, “Ki Bekel. Aku masih tetap mencemaskan gadis itu jika ia dibawa kebelakang hutan Jatimalang dikaki Gunung Lawu.“

Ki Bekel tertegun sejenak. Dengan nada berat ia berkata, “Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah kita akan mencarinya ke hutan Jatimalang?”

“Ki Bekel” berkata Manggada, “sebaiknya kita melihat anak Ki Winduwara dirumah pamannya. Jika gadis itu tidak ada disana, maka kita memang harus mengirimkan sekelompok orang yang memiliki keberanian untuk pergi kebelakang hutan Jatimalang. Mula-mula kita harus menemui pertapa itu lebih dahulu.“

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita ajak Ki Winduwara untuk menunjukkan rumah saudaranya yang sedang ditengok oleh anaknya.“

“Tetapi apa sebenarnya yang terjadi?” bertanya Ki Winduwara dengan wajah yang tegang.

“Jangan berpura-pura” bentak Ki Sudagar Resakanti.

“Untuk apa aku berpura-pura?” jawab Ki Winduwara.

“Ki Winduwara” berkata Ki Bekel, “jelasnya, “Ki Sudagar Resakanti merasa curiga, bahwa anak laki-lakimui itu telah melarikan gadis yang hilang itu.”

“Anakku?” Ki Winduwara memang terkejut Apalagi isterinya yang ketakutan.

“Kau tidak usah berpura pura terkejut” bentak Ki Sudagar.

“Sejak tadi kau selalu menuduh aku berpura pura Ki Sudagar buat apa kau ikut campur. Lihat, orang tuanya tidak segarang kau. Mereka tentu juga merasa gelisah lebih dari siapapun. Tetapi kenapa justru kau menjadi seperti cacing kepanasan.“

“Tunjukkan, dimana anakmu menyembunyikan gadis itu” teriak Ki Sudagar.

“Kita tidak usah berteriak-teriak disini” berkata Ki Bekel. Lalu katanya, “Tolong Ki Winduwara, antar kami kerumah pamannya.“

“Sekarang?” bertanya Ki Winduwara.

“Ya, sekarang” jawab Ki Bekel.

“Tetapi rumahnya cukup jauh?” jawab Ki Winduwara.

“Kita akan menyiapkan kuda” jawab Ki Bekel, “kita kumpulkan kuda yang ada di padukuhan ini. Kita akan meminjamnya dan mempergunakannya. Tentu saja tidak semua orang akan ikut.“

“Aku dan tiga orangku akan mempergunakan kudaku sendiri” berkata Ki Sudagar.

“Kita akan segera bersiap” berkata Ki Bekel.

Demikianlah, para bebahu itu pun telah mengumpulkan beberapa ekor kuda untuk dipinjam. Ki Bekel hanya mempunyai dua ekor kuda, sedangkan para bebahu itu masing-masing hanya mempunyai seekor. Ayah gadis yang hilang itu tidak mempunyai seekorpun, demikian pula bagi Manggada dan Laksana. Sementara Ki Winduwara juga mempergunakan kudanya sendiri.

Ibu gadis yang hilang itu telah ditinggalkan dirumah Nyi Winduwara yang ketakutan. Sementara ibu gadis itu masih saja selalu menangis jika ia teringat anaknya yang hilang.

“Jadi jelasnya, anakku telah dituduh menyembunyikan gadismu Adi” desis Nyi Winduwara sepeninggal Ki Bekel dari rumahnya.

“Aku juga tidak tahu apa-apa mbokayu” jawab ibu gadis yang hilang itu. “Ki Sudagar itulah yang menyangka demikian.“

“Kenapa justru Ki Sudagar yang kebingungan, lebih dari orang tuanya sendiri?” bertanya Nyi Winduwara.

“Anakku akan diambil menantu olehnya. Anak laki-lakinya sangat mencintai gadisku itu. Bahkan mas kawin telah kami terima. Tetapi tiba-tiba anakku hilang. Dan Ki Sudagar mengira bahwa anak laki-laki mbokayu yang telah menyembunyikannya, karena menurut penglihatannya, anak gadisku itu akrab sekali dengan anak laki-lakimu.” jawab ibu gadis yang hilang.

Nyi Winduwara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sungguh tidak mengerti kenapa tuduhan itu jatuh pada anakku.“

Dalam pada itu sekelompok orang berkuda telah meninggalkan padukuhan dan berpacu menuju ke sebuah padukuhan yang memang agak jauh, yang ternyata memang diarah Gunung Lawu.

Tetapi ternyata malam tidak cukup panjang, sehingga diarah Timur, langitpun telah menjadi merah.

Ki Winduwara memang menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi keributan dengan anak laki-lakinya. Ia memang tidak tahu sama sekali, apakah anaknya melarikan seorang gadis atau tidak. Sementara sambil berpacu, ia mereka-reka apa yang akan dijumpainya dirumah saudaranya itu.

Manggada dan Laksana pun menjadi tegang pula. Jika gadis itu tidak dilarikan oleh anak Ki Winduwara, maka ia tentu telah dibawa ke belakang hutan Jatimalang, atau jatuh ketangan orang yang memperjual belikan gadis-gadis untuk korban kepercayaan sesat di belakang hutan Jatimalang itu.

Meskipun demikian, keduanya juga berpikir, seandainya gadis itu benar-benar dilarikan oleh anak Ki Winduwara, lalu bagaimana? Tentu akan timbul persoalan pula.

Perjalanan sekelompok orang berkuda itu memang menarik perhatian. Apalagi ketika matahari telah terbit, tepat saat mereka sampai ke padukuhan yang mereka tuju.

Manggada dan Laksana menjadi semakin gelisah ketika mereka melihat dua ekor elang yang terbang berputar-putar. Sekali-sekali merendah. Namun kemudian kembali memanjat tinggi diudara sebelum menukik lagi menyambar-nyambar.

“Apakah elang itu burung elang yang dikirim oleh Panembahan sesat itu?” desis Laksana.

Manggada termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Aku tidak tahu pasti. Seandainya saja sinar matahari itu memantulkan kuku-kuku logam burung itu.“

Laksana hanya mengangguk-anguk saja. Mungkin burung elang itu adalah burung elang kebanyakan yang sedang mengintai anak ayam dipadukuhan yang mereka masuki.

Beberapa orang yang baru bangun dari tidurnya memang terkejut melihat iring-iringan orang berkuda itu. Tetapi karena para penunggang kuda itu tidak menghiraukan mereka, maka merekapun kemudian juga tidak menghiraukannya pula.

Dengan demikian, maka Ki Winduarapun langsung membawa iring-iringan itu kerumah saudaranya yang memang sering dikunjungi oleh anak laki-lakinya.

Ki Winduwara memang berpikir, kenapa anak laki-lakinya pada saat-saat terakhir sering berkunjung kerumah paman dan bibinya itu. Apakah memang ada hubungannya dengan rencananya membawa gadis itu untuk disembunyikan. Tetapi Ki Winduwara dan isterinya tidak pernah mengetahui hubungan anaknya dengan gadis yang hilang itu. Apalagi untuk melarikannya.

Beberapa saat kemudian, maka beberapa ekor kuda itu pun telah memasuki halaman rumah saudara Ki Winduwara. Kedatangan mereka memang sangat mengejutkan. Apalagi anak laki-laki Ki Winduwara yang memang ada di-rumah itu sebagaimana dikatakan.

Tanpa menunggu dipersilahkan masuk kedalam, Ki Winduwara yang melihat anak laki-lakinya segera memanggilnya, “Sela Aji. Kemarilah. Aku akan berbicara denganmu.“

“Ada apa kakang?” bertanya adiknya Ki Winduwara.

“Kau tidak usah melindungi anakmu” berkata Winduwara, “aku datang bersama Ki Bekel di padukuhan-mu serta beberapa orang bebahu. Padukuhanku menjadi gempar karena seorang gadis telah hilang. Apalagi ketika kedua orang anak muda itu datang sambil membawa berita buruk tentang hutan Jatimalang. Padukuhanku menjadi semakin ribut.“

“Seorang gadis yang hilang?” bertanya adiknya.

“Aku ingin bertanya kepada Sela Aji, apakah ia memang seorang laki-laki atau bukan. Jika ia seorang laki-laki, ia akan menjawab berterus terang jika ia benar membawa seorang gadis sehingga persoalannya akan menjadi jelas.“

Wajah adiknya menjadi tegang. Apalagi anaknya, Sela Aji. Jantungnya berdetak semakin keras, sementara darahnya serasa mendidih memanasi seluruh tubuhnya.

Sambil menengadahkan dadanya, Sela Aji itu menjawab, “Ya. Aku telah membawa gadis itu.“

“Nah, bukankah benar dugaanku” teriak Ki Sudagar Resakanti, “aku tidak mau menerima keadaan ini.“

Tetapi Ki Winduwara berkata, “Apakah aku boleh berbicara lagi dengan anakku, Ki Bekel?”

“Apakah yang akan kau katakan? Bukankah semuanya sudah jelas? Anakmu harus dihukum karena melarikan seorang agdis. Sedangkan gadis itu harus kembali kepada orang tuanya.” geram Ki Sudagar Resakanti.

“Tunggu Ki Sudagar” sahut Ki Bekel, “orang tuanya saja tidak ribut sebagaimana Ki Sudagar.” lalu katanya kepada Ki Winduwara, “Katakan, apalagi yang ingin kau katakan.“

“Katakan Sela Aji. Apakah kau melarikan gadis itu, atau kalian memang berniat untuk lari bersama-sama?” bertanya Ki Winduwara.

“Kami memang berniat lari bersama-sama” jawab Sela Aji.

“Omong kosong. Kau tentu menculiknya dan melarikannya.” teriak Ki Sudagar Resakanti.

Ki Bekel tidak menghiraukannya. Tetapi katanya, “Bawa gadis itu kemari. Aku ingin bertanya langsung kepadanya.“

Sela Ajji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik Ki Bekel. Aku akan mengajak Miranti kemari;”

“Kau disini saja. Biar pamanmu yang memanggilnya” berkata Ki Bekel dengan wajah yang tegang.

Pamannya memang menjadi ragu-ragu. Namun Sela Aji berkata, “Silahkan paman? Bawa Miranti kemari.“

Sejenak kemudian, maka gadis yang hilang itu telah berada diantara mereka yang masih ada dihalaman. Wajahnya pucat dan tubuhnya menjadi gemetar.

“Jangan takut Miranti.” desis Sela Aji, “cinta kita akan mengatasi segalanya. Kita juga akan mengatasi kesulitan ini.“

Namun dalam pada itu, Ki Sudagar berkata lantang kepada ayah gadis itu, “Ambil anakmu, bawa ia pulang.“

“Tunggu” berkata Ki Bekel, yang kemudian bertanya kepada Miranti, “Apakah kau dilarikan oleh Sela Aji dengan paksa?”

Miranti yang pucat dan gemetar itu tidak menjawab.

“Katakan yang sebenarnya, jangan takut” berkata Ki Bekel.

Miranti memandang Sela Aji sejenak. Namun kemudian kepalanya menggeleng lemah.

“Jadi, kau memang sengaja lari bersamanya?” bertanya Ki Bekel dengan dahi berkerut.

“Ya” jawab Miranti hampir tidak terdengar.

“Bohong” teriak Ki Sudagar, “gadis itu tentu sudah diancam oleh anakiblis itu.“

Namun ayah Miranti itu bertanya, “Kenapa kau melarikan diri mendekati saat perkawinanmu?”

Wajah Miranti yang pucat itu nampaknya semakin pucat. Tetapi ia menjawab, “Bukankah sudah aku katakan ayah, aku tidak mau kawin dengan anak Ki Sudagar yang sudah beristeri tiga orang.“

“Tetapi aku menentukan. Kau tidak dapat memilih,” geram ayahnya yang sudah terjerat oleh Ki Sudagar.

Ki Bekel itupun kemudian berkata, “Jika demikian, aku sudah tahu persoalannya. Pembicaraan kita sudah memberikan gambaran tentang peristiwa yang terjadi, yang menggemparkan seluruh padukuhan kita.” Lalu Ki Bekel itu pun berpaling kepada Manggada dan Laksana. Katanya, “Anak-anak muda. Inilah kenyataan yang kita hadapi. Meskipun tetap rumit, tetapi bersyukurlah kita karena kita tidak perlu menyeberangi hutan Jatimalang.“

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, “Aku ikut bersyukur Ki Bekel. Demikian kami mengetahui bahwa gadis itu ada disini, maka kamipun ikut menyatakan sokur. Bagaimanapun juga gadis itu tidak akan menjadi korban dari satu ajaran yang sesat itu.“

“Baiklah” berkata Ki Bekel, “kita akan kembali ke padukuhan. Segala sesuatunya akan kita selesaikan di padukuhan.“

Tetapi tiba-tiba Miranti menjerit, “Tidak. Aku tidak mau kembali. Aku tidak mau kawin dengan laki-laki itu.“

“Tidak. Kau harus kembali Miranti, “bentak ayahnya, “pembicaraan tentang hari perkawinanmu telah di tentukan. Kau tidak berhak menolak.“

“Tidak. Aku tidak mau.” tangis gadis itu.

Sela Aji menjadi tidak sabar lagi. Ia pun kemudian medangkah mendekati Miranti sambil berkata, “Aku akan mempertahankannya. Ia tidak dapat dipaksa dengan cara apapun.“

“Jangan mencari penyakit” bentak Ki Sudagar Resa-kanti, “kau harus melepaskan gadis itu untuk dibawa kembali oleh ayahnya, karena hanya ayahnya sajalah yang berhak menentukan.“

“Gadis itu sudah dewasa. Ia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Jika ia tidak ingin pulang, maka tidak ada yang berhak memaksanya. Ayahnya pun tidak” geram Sela Aji.

Tetapi Ki Sudagar Reksakanti berkata, “Jika ada yang mencoba menghalangi, aku akan mempergunakan kekerasan.“

Lalu katanya kepada ayah gadis itu, “Ambil anakmu. Orang-orangku akan membantumu.“

Ketiga orang pengiring Ki Sudagar tiba-tiba saja telah bergerak. Sementara itu Ki Sudagar berkata, “Ki Bekel. Jangan turut campur. Jika Ki Bekel turut campur maka orang-orangku akan bertindak lebih kasar lagi. Juga kepada Ki Bekel.“

Ki Bekel memang termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Aku berhak mencegah seseorang yang bertindak sendiri-sendiri. Juga dalam hal ini.“

“Tetapi anak itu adalah anakku Ki Bekel. Aku berhak mengajarnya sesuai dengan cara serta kemauanku tanpa campur tangan orang lain. Aku tidak bertindak sendiri atas orang lain” berkata ayah Miranti.

“Tetapi persoalan ini menyangkut hak anakmu menentukan jalan hidupnya. Jika persoalannya karena kau sudah menerima mas kawin dari Ki Sudagar Resakanti, maka persoalannya dapat kita bicarakan kemudian. Mungkin kau memang harus mengembalikannya, tetapi dengan cara yang pantas.” jawab Ki Bekel.

“Aku tidak mau dengan cara apapun juga. Apa yang sudah disepakati, harus berlangsung. Gadis itu berbohong jika anakku beristeri tiga orang. Dua diantaranya sudah diceraikan. Untunglah anakku itu tidak ikut bersama kami. Jika ia ikut, maka ia tentu telah bertindak keras”.

“Tentu saja anakmu tidak ikut” berkata Sela Aji, “bukankah anakmu cacat setelah menderita sakit.“

“Setan kau” teriak Ki Sudagar Resakanti, “cepat, ambil gadis itu dan bawa kembali.“

Namun Ki Bekel berpegang pada sikapnya, sehingga iapun berkata, “Aku melarang kalian bertindak sewenang-wenang atas gadis itu.“

Namun kata-katanya sudah tidak didengar lagi. Suasana sudah berubah menjadi semakin panas. Karena itu, maka ayah Miranti pun berusaha untuk memaksa anaknya pulang.

Tentu saja Sela Aji tidak melepaskannya, sehingga akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan. Sela Aji telah berusaha untuk melindungi Miranti dari kemauan ayahnya yang telah diracuni dengan mas kawin yang memang cukup besar.

Tetapi paman Sela Aji dan Ki Bekel tidak membiarkannya. Bahkan dua orang pembantu Ki Bekel dan Ki Winduwara telah melibatkan diri pula.

Tetapi yang mereka hadapi adalah tiga orang pengiring Ki Sudagar Resakanti. Tiga orang yang bertubuh raksasa dan mempunyai kemampuan serta pengalaman melakukan kekerasan.

Ternyata Ki Bekel, para bebahu dan Sela idengan keluarganya tidak mampu mengimbangi ketiga orang bertubuh tinggi dan besar itu. Dengan kasar ketiga orang itu sempat melem-parkan lawan-lawan mereka dan membantingnya diatas tanah. Yang keadaannya paling pahit adalah Sela Aji sendiri. Beberapa kali ia terlempar jatuh berguling-guling. Hanya karena tanggung jawabnya yang besar sajalah maka ia masih sempat bangkit dan tertatih-tatih melakukan perlawanan.

Manggada dan Laksana menjadi bingung. Untuk beberapa saat mereka berdiri termangu-mangu. Semula memang ada niat mereka untuk tidak turut campur. Namun semakin lama hati mereka mulai tergelitik.

Apalagi ketika mereka melihat Ki Bekel yang tua itu beberapa kali terjatuh dan bahkan kemudian satu pukulan yang keras telah melemparkannya jatuh terkapar hampir dikaki Manggada.

Darah Manggada tersirap. Apalagi ketika ia melihat Miranti mulai meronta-ronta karena diseret oleh ayahnya dibantu oleh Ki Sudagar Resakanti.

Ketika Manggada menolong Ki Bekel berdiri, maka Laksana telah berbisik ditelinganya, “Aku telah menemukan orang yang dapat membantuku mengukur kemampuanku setelah aku mendapat peningkatan secara khusus di belakang hutan Jatimalang. Apakah kau akan ikut kakang Manggada?”

Laksana tidak menunggu jawaban Manggada. Ketiga orang bertubuh raksasa itu telah kehilangan lawan-lawan mereka. Ki Bekel sudah tidak berdaya. Demikian pula para bebahu. Sementara itu Sela Aji sendiri telah menjadi hampir pingsan.

“Aku sudah memberi peringatan kepada kalian” berkata Ki Sudagar Resakanti, “tetapi apaboleh buat. Sekarang, aku akan pulang. Aku siap menghadapi segala macam tindakan yang akan diambil oleh Ki Bekel. Semakin keras ia menentang aku, maka semakin keras pula aku memberikan perlawanan. Aku mempunyai uang untuk membuat Ki Demang tidak berbuat apa-apa.“

Ki Bekel memang sudah tidak berdaya. Tetapi Ki Resakanti terkejut ketika seorang anak muda melangkah mendekatinya sambil berkata, “Aku berada dipihak Sela Aji.“

“Setan kau. Kau telah mengacaukan pedukuhanku dengan ceritera tentang hutan Jatimalang. Sekarang kau mencoba untuk mengacau lagi disini. Kau harus sadar, jika kau ikut campur, maka kaulah yang akan mengalami nasib paling buruk. Lebih buruk dari Winduwara yang sombong itu.“

Tetapi Laksana menjawab, “Aku tidak dapat melihat seorang tua yang sampai hati menjual anaknya kepada seorang kaya raya yang sewenang-wenang. Karena itu, maka aku harus ikut melibatkan diri. Aku memang berniat menggugurkan jual beli Ini.”

Dalam pada itu, Manggada pun menarik nafas dalam dalam la setuju untuk menolong Miranti dan Sela Aji. Tetapi ternyata Laksana masih belum melupakan keinginannya untuk menjajagi ilmunya yang telah meningkat itu.

Ketika Manggada melangkah. Ki Bekel berkata sambil terengah-engah, “Sudahlah ngger. Jangan turut campur. Aku masih mempunyai wewenang untuk bertindak dengan cara apapun juga.“

Tetapi Manggada berkata, “Biarlah Ki Bekel. Kami merasa wajib berbuat sesuatu menghadapi persoalan seperti ini.“

Manggada pun tidak dapat dicegah lagi. Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu sudah berhadapan dengan tiga orang pengikut Ki Sudagar Resakanti yang bertubuh raksasa itu. Namun kedua orang anak muda itu sama sekali tidak merasa takut.

Ketiga orang bertubuh raksasa itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sikap kedua orang anak muda itu rasa-rasanya telah menghina mereka. Dengan geram seorang diantara mereka berkata, “Apakah matamu buta, he? Enam orang tidak mampu melawan kami. Apalagi dua orang anak ingusan. Agaknya kalian memang sudah jemu hidup, karena kesalahan kalian lebih besar dari yang lain.“

Manggada dan Laksana tidak menghiraukannya. Merekapun segera saja bersiap untuk berkelahi. ?

 

TAMAT

 Djvu koleksi ismoyo

 

 Seri ARYA MANGGADA I, tamat Dilanjutkan Seri ARYA MANGGADA II.

“MAS RAKA”

Kisah tentang seorang gadis yang mengalami kesulitan justru karena ia dicalonkan untuk menjadi seorang isteri Raden Panji, Seorang yang pengaruhnya sangat besar karena kedudukannya. Raden Panji adalah seorang yang telah berhasil menghancurkan beberapa kelompok penjahat disatu daerah yang sebelumnya sangat rawan. Namun cara yang dipergunakan oleh Raden Panji adalah cara yang sangat keras dan bahkan kasar.

Kekerasannya itu pulalah yang mewarnai hidupnya sebagai seorang laki-laki terhadap perempuan. Beberapa kali ia berganti isteri.

MAS RARA adalah salah seorang gadis yang bakal menjadi isterinya. Dan tanpa di kehendakinya, maka Manggada dan Laksana telah terlibat pulajiedalam persoalan itu.

-ooo0dw0ooo-

Tunggu pada Seri ARYA MANGGADA berikutnya:

“MAS RARA”.

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

Diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut AM_MR-01

Tinggalkan komentar